Mohon tunggu...
Abdul Ghofur
Abdul Ghofur Mohon Tunggu... Guru - Guru

Penelusur jalan kehidupan, masih mencari makna dan hakikat hidup yang sejati.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Ibu di Zaman "Now"

22 Desember 2017   10:21 Diperbarui: 22 Desember 2017   15:55 1397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu, sosok luar biasa, melahirkan generasi penerus peradaban manusia. (dok.pri)

Berbicara tentang ibu merupakan satu figur yang sangat lekat dengan kehidupan seorang anak manusia. Ibu adalah sosok luar biasa yang melahirkan setiap insan manusia ke dunia. Atas jasa dan perjuangan seorang ibu, tentu didampingi ayah, ibu bertaruh nyawa mengejan untuk melahirkan generasi penerus peradaban manusia. Manusia sehebat apapun tidak akan lepas dari jasa ibu yang tak terkirakan.

Setelah pertaruhan nyawa yang cukup berat dan melelahkan, hal tersebut barulah awal, karena selanjutnya adalah membesarkan dan mendidik anak tersebut agar mampu berbakti, berguna bagi agama, bangsa, dan negara. Ibu memberikan segenap curahan kasih sayangnya, bahkan terkadang abai terhadap dirinya sendiri yang terpenting adalah kesehatan dan kenyamanan sang buah hati.

Maka tak mengherankan terdapat legenda Malin Kundang dari Sumatera Barat yang berkisah tentang seorang anak yang durhaka kepada ibunya sehingga dikutuk menjadi batu. Dalam khasanah Islam terdapat kisah Alqomah, seorang ahli ibadah yang harus mengalami kesulitan sakaratul maut dikarenakan durhaka kepada ibu. Hal ini sebagai penekanan dan tamsil bahwa jasa seorang ibu adalah luar biasa, sehingga kedurhakaan kepadanya akan berakibat fatal.

Menelisik Sejarah Hari Ibu

Tidak hanya dalam ranah domestik saja, bahkan para perempuan yang notabenenya adalah seorang ibu, andil berjibaku dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Turut berpartisipasi angkat senjata mengusir dan mengenyahkan penjajah dari tanah air. Para pahlawan perempuan ini memiliki peran dan pergerakan yang berdampak besar tak hanya bagi kaumnya, tetapi juga bagi bangsa Indonesia.

Sosok seperti Kartini, perempuan asal Jepara adalah salah satu profil perempuan yang mempunyai pemikiran melampui zamannya, berani melawan arus terhadap kebijakan kolonial yang tidak memihak dan memarginalkan kaum perempuan. Kemudian sosok Cut Nyak Dien, memperjuangkan Tanah Rencong dari rongrongan Belanda, Cut Meutia, Dewi Sartika, Martha Khristina Tiahahu, dan sederet sosok perempuan lain yang berjuang gigih di daerahnya masing-masing.                                                        

Melihat betapa besar jasa seorang perempuan, seorang ibu, maka menjadi hal yang tepat apabila negara Indonesia mengapresiasi dan mendeklarasikan tanggal 22 Desember untuk diperingati sebagai Hari Ibu Nasional. Penetapan ini dilakukan pada masa Presiden Soekarno diikuti dengan penerbitan Dekrit Presiden No. 316 tahun 1953. Berbagai negara di dunia juga memperingatinya dengan hari yang berbeda-beda sesuai tonggak sejarah perjuangan perempuan masing-masing negara. Misalnya di Thailand pada 12 Agustus yang merupakan kelahiran Ratu Sirikit, Norwegia pada 14 Februari, Britania Raya pada 14 Maret, dan lainnya.

Hari Ibu di Indonesia dirayakan pada ulang tahun hari pembukaan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama yang digelar dari 22-25 Desember 1928. Kongres ini diselenggarakan di sebuah gedung bernama Dalem Jayadipuran yang kini merupakan kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Jl. Brigjen Katamso, Yogyakarta. Kongres ini dihadiri sekitar 30 organisasi wanita dari 12 kota di Jawa dan Sumatera (wikipedia.org). Tanggal 22 Desember dipilih sebagai wahana merayakan semangat juang wanita Indonesia dan untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara. Momen tersebut merupakan tonggak sejarah bagi Indonesia untuk memproklamirkan ke negara di dunia akan pentingnya peran perempuan dalam andil membangun bangsa dan negara.

Kini, makna dan esensi perayaan Hari Ibu telah banyak berubah dan bergeser. Di mana peringatan Hari Ibu sekarang hanya bekisar pada hal-hal yang seremonial dan temporal, hanya sekadar ucapan selamat via media sosial, sehari menyatakan rasa cinta terhadap kaum ibu, bertukar hadiah, lomba-lomba bernuansa ibu, seperti memasak, berdandan, memakai kebaya, dan lainnya. Kulit memang penting, tapi esensi tentu lebih penting di balik peringatan Hari Ibu.

Menarik mendalami apa yang disampaikan Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Giwo Rubiyanto Wiyogo dalam peringatan Hari Ibu 2017 di Jakarta, Senin (18/12/2017). Ibu Giwo mengatakan bahwa peringatan Hari Ibu selain seremonial haruslah mengedepankan makna hakiki sebagai wujud pengakuan, penghargaan, dan penghormatan tertinggi oleh negara, masyarakat dan seluruh stakeholderpemerintah, atas peristiwa heroik yang telah dilaksanakan oleh para founding mothers Kowani pada masa perjuangan.

Ibu Giwo menambahkan mereka dengan begitu gigih berjuang tanpa pamrih dan tanpa meminta fasilitas, serta imbalan apapun. Namun berbekal tekad, persatuan, dan jiwa kejuangan yang penuh semangat pantang menyerah akhirnya mampu mempersembahkan alam kemerdekaan yang sekarang dinikmati bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun