Â
      Dunia pendidikan Indonesia selalu diwarnai dengan peristiwa dan kehebohan dari berbagai aspek, mulai dari aspek kebijakan, kurikulum, pendidik, peserta didik, dan lainnya. Beberapa waktu lalu isu Full Day School (FDS) mencuat menjadi isu nasional dan menyisakan polemik pro dan kontra dari berbagai elemen masyarakat dari para birokrat, pelaku pendidikan, organisasi masyarakat, sampai rakyat jelata. Banyak pihak yang menentang, namun ada pula yang menyetujuinya, masing-masing bersikukuh dengan argumennya. Tingginya intensitas protes dari masyarakat melahirkan terbitnya Perpres No. 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) untuk menggantikan Permendikbud No. 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah mengubah sejumlah substansi di dalamnya. Dalam Perpres tersebut setiap sekolah dibebaskan untuk memilih mekanisme lima hari atau enam hari sekolah untuk mewujudkan PPK.
      Dari aspek kurikulum, pergantian kurikulum misalnya dari KBK tahun 2004, KTSP tahun 2006, dan K-13 tahun 2013 yang relatif singkat dan cepat seakan menyisakan pertanyaan, kurikulum dibuat untuk apa dan siapa? Satu kurikulum belum berhasil dipahami dan diterapkan oleh guru di seluruh Indonesia, tetapi sudah muncul kurikulum yang baru. Belum lagi di tahun 2017 sederet kasus dalam aspek pendidik dan peserta didik terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Misalnya sekelompok anak SD yang ketahuan menghisap rokok elektrik secara bersama di Kabupaten Trenggalek, kasus penganiayaan Pak Guru Dasrul oleh oknum orang tua dan siswa di salah satu SMK di Makassar, yang akhirnya beliau wafat beberapa waktu lalu, kasus tawuran, penggunaan narkoba, prostitusi anak, dan segudang kasus lainnya.
Potret Guru di Era Modern
      Melihat berbagai fenomena pendidikan di atas, guru sebagai salah satu pihak yang bersinggungan langsung dengan pendidikan melalui interaksi dengan siswa menuntut adanya cepat dan tanggap dalam merespon segala isu kekinian tersebut. Posisi guru yang strategis meniscayakan adanya tantangan dan peluang dalam setiap peristiwa yang berhubungan dengan pendidikan. Beberapa aspek yang dapat dilihat berkenaan dengan hal tersebut antara lain: pertama, adanya payung UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, melalui UU tersebut sebagai bentuk pengaturan terhadap mekanisme, peningkatan mutu, dan hak serta kewajiban pendidik, sehingga posisi guru diakui dan dilindungi oleh negara. Adanya UU tersebut sebagai bentuk komitmen dan tanggung jawab guru sebagai garda terdepan dalam mencerdaskan anak bangsa.Â
      Kedua, filosofi Jawa guru yang bermakna digugu dan ditiruyang berarti guru itu seyogyanya bisa dianut dan ditiru segala tingkah lakunya. Di era modern ini, posisi guru sebagai modelling bagi anak sangat diperlukan di tengah gempuran media dan tokoh superhero yang dimunculkan oleh media modern seperti superman, batman, dan lainnya. Dalam posisi ini guru hendaknya menjaga diri dan sikap ketika berinteraksi dengan siswa, karena apapun yang dikatakan dan diperbuat akan direkam dan ditirukan oleh siswa. Namun apa daya, efek gerusan globalisasi menjadikan beberapa oknum guru kalap dan melakukan hal yang amoral dan tidak layak dicontoh, sehingga filosofi guru digugu dan ditiruberubah menjadi wagutur saru yang artinya tidak baik, tidak elok, dan cabul. Misalnya kasus tindakan asusila yang dilakukan oknum guru MI di Karanganyar dan guru SMP Bulukumba bulan Agustus 2017 lalu, kasus asusila yang menimpa siswa MTs di Bantul bulan Juli 2017, dan deretan panjang kasus asusila lainnya.
      Ketiga, perubahan paradigma tentang gaji guru. Tidak dipungkiri bahwa jumlah guru Wiyata Bakti (WB) lebih banyak daripada guru yang telah PNS. Padahal secara pengeluaran kebutuhan relatif sama, terdiri biaya rumah, sandang, makan harian, listrik dan air, transport, pendidikan anak, dan kebutuhan lainnya. Belum lagi kebutuhan tersier agar tidak ketinggalan jaman seperti gadget, laptop, kendaraan bermotor, dan lainnya. Kecilnya gaji para guru WB inilah, meskipun tidak bisa digeneralisir, yang disinyalir menjadikan guru seakan terkadang setengah hati, mudah emosi, dan terkesan kurang serius, meskipun belum tentu juga kinerja guru yang PNS lebih baik dari yang WB. Maka menjadi penting guru di jaman now untuk mengubah paradigma tentang guru, bahwa profesi guru adalah sebuah idealisme dan panggilan jiwa, apapun konsekuensi dari profesi guru akan diterima dengan ikhlas dan sepenuh hati.
      Keempat, melek teknologi. Era milenial meniscayakan guru untuk mampu menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan jaman. Generasi sekarang jauh berbeda dengan generasi 10-15 tahun yang lalu, apabila guru tidak peka terhadap kondisi ini, maka pembelajaran akan berlangsung monoton dan kaku dikarenakan tidak dikontekstualisasikan dengan kondisi sekarang. Pembelajaran berbasis e-learning, media sosial, dan media lainnya menjadi hal yang urgen untuk diterapkan. Guru perlu melek teknologi dengan menguasai aplikasi dasar Ms. Office, pengoperasian komputer dan laptop, LCD, dan sarana modern lainnya. Apabila guru jaman now tidak melakukan penyesuaian, maka akan ketinggalan selangkah lebih maju dengan para siswanya. Di samping teknologi menghasilkan efek negatif, sisi posiitifnya harus dimaksimalkan guru melalui proses pendidikan.
      Kelima, berbaur dan berkomunikasi dengan masyarakat. Sebagai bentuk sinergitas tujuan pendidikan, guru jaman now hendaknya selalu berkomunikasi dengan masyarakat. Komunikasi dengan masyarakat menjadi hal penting sebagai bentuk evaluasi pelaksanaan pendidikan, hal-hal apa saja yang sudah mapan dan perlu dipertahankan dan ditingkatkan, serta hal-hal apa yang belum tepat dan perlu dibenahi. Melalui komunikasi yang baik dengan masyarakat sekitar sekolah atau lembaga pendidikan akan mewujudkan pendidikan yang lebih humanis dan sosial, jadi sekolah tidak menjadi bangunan tinggi yang acuh dengan masyarakat sekitarnya.
      Dari kelima aspek di atas, setidaknya sebagai acuan dan panduan agar guru jaman now mampu memaksimalkan peluang di antara tantangan yang ada. Sehingga guru mampu menempatkan diri sebagai profesi yang dilindungi oleh UU dengan mampu menjadi modelling bagi siswa sesuai amanat UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 agar siswa memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Kemudian menjadikan profesi guru sebagai idealisme dan panggilan jiwa dengan memanfaatkan teknologi modern saat ini sebagai penunjangnya. Terakhir perlu menjalin komunikasi yang intens dengan masyarakat untuk menerima saran, kritikan, dan masukan untuk pendidikan yang lebih holistik, humanis, dan sosial.
Optimalisasi Peran Media
Sebagai guru hendaknya mampu memanfaatkan segala saluran dan media yang tersedia. Menurut Gerlach & Ely (dalam Arsyad, 2002), media dapat dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi, yang menyebabkan siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Jadi menurut pengertian ini, guru, teman sebaya, buku teks, lingkungan sekolah dan luar sekolah, bagi seorang siswa merupakan media.
Guru jaman now dalam kaitannya menyikapi dan menghadapi tantangan dan peluang di era digital perlu mengoptimalkan segala media yang tersedia. Buku-buku yang relevan tentang pendidikan anak di era digital, media pembelajaran yang kekinian, penciptaan lingkungan belajar yang sesuai dan mendukung tumbuh kembang anak di era digital, proses pembelajaran yang menyenangkan, fasilitas dan sarana yang memadai, dan lainnya.
Guru juga perlu memiliki jaringan media online untuk mengkampanyekan dan mempromotori cara-cara mendampingi tumbuh kembang anak di era digital, misalnya melalui akun media sosial (facebook, twitter, instagram, dan lainnya), blog, dan media lainnya. Sehingga pemberitaan media online tidak dipenuhi dengan berita-berita yang negatif tentang pendidikan, namun guru dapat mengimbangi dengan hal yang positif, seperti tips belajar, metode belajar, prestasi yang diraih siswa, kegiatan yang dilakukan sekolah, penemuan baru di bidang pendidikan, dan hal positif lainnya.
Akhirnya, semoga para guru di zaman now mampu selalu mengobarkan semangatnya untuk terus mengabdi tiada henti untuk negeri tercinta Indonesia, engkau pahlawan bangsa, engkau pahlawan tanpa tanda jasa. Semua pihak baik orang tua, pendidik, lembaga pemerintah, dan masyarakat pada umumnya hendaknya bersinergi bersama guru, sehingga pada akhirnya sebagai wujud andil bersama dalam menjalankan amanat Undang-undang, yaitu turut andil dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Semoga. Selamat memaknai Hari Guru Nasional Tahun 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H