Mohon tunggu...
Aziz Safa
Aziz Safa Mohon Tunggu... Programmer - editor dan operator madrasah

jika hidup mempunyai arti yang beragam, tentunya bahagia juga tak bermakna tunggal

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tenda Merah Putih

16 Agustus 2011   05:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:44 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumah kayu berpagar bambu itu adalah satu-satunya peninggalan kakek saya dari pihak ibu. Baru dua tahun ini kami menempatinya, sejak kematian kakek tentunya. Ibu saya adalah seorang guru swasta.Sementara profesi tani ayah lebih merupakan pilihan sekadar beraktivitas, berpartisipasi mengisi waktu daripada meluntang. “Cukup untuk memproduksi kentut dengan sedikit ampasnya he-he-he,” begitu seloroh bapak biasanya.

Hidup kami termasuk berkecukupan. Tepatnya, cukup untuk makan saja. Kebutuhan selebihnya, seperti sumbangan pernikahan maupun sunatan, kadang dipenuhi dengan utang ke tetangga atau saudara, dengan janji dibayar kalau sawah-tadah-hujan bapak panen dan kalau ada rezeki tiban. Jarang ada uang untuk jajan. Jangan tanya asuransidan rekening bank apa yang kami punya, celengan ayam jago aja tak ada di rumah kami!

Kendati hidup pas-pasan, ibu dan bapak ingin memberikan yang terbaik untuk acara pernikahan saya. Keduanya ingin resepsi saya nanti berjalan khidmat sekaligus bermartabat, tak mengecewakan tetamu dan sanak kerabat yang datang memberi restu. Terlebih keluarga besan. Sebab, bagi ibu dan bapak, resepsi adalah salah satu media bersyukur atas lepasnya masa lajang saya. (Mungkin semua orangtua berpikiran begitu.)

Setelah mengetahui lemari kayu di sudut kamarnya ludes termakan api, ibu duduk mematung bertopang dagu. Padahal, di lemari itulah ibu menyimpan uang hasil panen dan baju sarimbit untuk pernikahan saya dengan gadis tetangga desa, yang rencananya akan dilangsungkan sehari lagi, tepat di ulang tahun negara RI. Ketika saya hampiri, kelihatan sekali ibu berusaha untuk tampak tegar.

Sementara bapak hanya mengangkat bahu saat kutanya bagaimana hidup kami selanjutnya. “Kita harus memulainya dari nol lagi. Namun, sebelum memulai, kita harus mengingat tiga hal yang kita butuhkan: tekad untuk melakukan sesuatu, kemauan yang baik, dan ingat selalu akan takdir Tuhan!” begitu pesan bapakku sambil memegangi pundakku.

Bapak mengajakku ke surau. Kudengarkan lirih khusyuk doanya. “Ya Allah, untung hanya rumah kami yang terpanggang api, bukan kami. Ya Allah, terima kasih atas kesempatan yang Kauberikan kembali kepada kami untuk memulai kehidupan dari awal lagi. Berilah kami jalan keluar yang terbaik menurut-Mu!”

“Pak Alim, Pak Alim... Bu Alim Pak... Bu Alim!” kata Mbok Rukmini tergopoh-gopoh sambil menarik tangan bapak ke kamp penampungan.

“Ada apa dengan ibu, Mbok?” tanya Bapak.

“Ibu, ibu... tubuh ibu nggak bisa gerak lagi, Pak! Dari mulutnya terus keluar busa,” lanjut Mbok Rukmini sesampai di kamp penampungan sambil menunjukkan dua botol pestisida.

"Astagfirullaaaahhh. Innalillahi wainna ilaihi raji'unnnn.......!"

Tiba-tiba tubuh bapak terhuyung. Tangis kami pun tak terbendung. Di bawah tenda merah putih itu kami berkabung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun