Mohon tunggu...
Aziz Safa
Aziz Safa Mohon Tunggu... Programmer - editor dan operator madrasah

jika hidup mempunyai arti yang beragam, tentunya bahagia juga tak bermakna tunggal

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Merekam Mimpi

26 Oktober 2011   01:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:30 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_139446" align="aligncenter" width="443" caption="(foto canting`s collection)"][/caption]

Mimpi begitu subtil dan rapuh, mudah dikikis dan dirusak oleh pelbagai macam kekuatan destruktif. Ketika keraguan dan kesinisan terhadap mimpi bertambah, saat itulah pemimpi tak ubahnya seperti pungguk merindukan bulan. Ya, mimpi hanya akan memosisikan kita sebagai pengkhayal sejati jika kita tidak menindaklanjutinya dengan aksi, untuk kemudian mati. Memang, tidak seorang pun yang berhak membatasi mimpi. Jika pun penguasa tidak mampu menampung mimpi kita, bukan berarti kita harus menyerah pasrah begitu saja. Jika pun pemerintah negeri yang bermotokan “state never sleep” ini absen dari upaya implementasi mimpi-mimpi anak negeri, seyogianya kita tak perlu berkecil hati. “Banyak jalan menuju Roma”, begitu pun untuk mimpi kita. Namun, kita kadang beranggapan bahwa saking berharganya mimpi kita sehingga kita tidak menceritakannya kepada orang lain. Kita takut diejek dan tak dipedulikan. Padahal, realistis atau tidaknya mimpi kita hanya bisa dibatasi oleh kemauan kita membuatnya menjadi nyata. Kapan sebuah mimpi bakal menjadi kenyataan dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk itu, tentu kita tak bisa memastikannya. Masih terbayang, bagaimana senja kala itu, beberapa bulan yang lalu, batin saya mulanya meragu saat mendengar teman-teman Komunitas Canting Jogja mengutarakan keinginan untuk merehab Studio Biru agar layak menjadi sebuah sanggar bermain dan belajar anak-anak. Selain usia komunitas ini baru seumur jagung, sudah beberapa kali saya menghadapi “proyek sosial” yang serupa tapi akhirnya menguap begitu saja. Namun, rupanya mimpi teman-teman yang begitu kuat itu dapat memompa semangat mereka untuk bertindak. Alih-alih mencari kesenangan dan “kopidarat” dengan para penghuni dunia maya (bloger), ternyata mimpi mereka memunculkan dorongan kuat untuk berbuat. Just do it! Ternyata, pilihan tersebut juga memberikan sensasi kesenangan yang luar biasa berikut uba rampe-nya ketimbang kesedihan. Keinginan untuk mencari kesenangan itu tak selamanya silang selimpat dengan keinginan untuk mencarikan kesenangan bagi orang lain. Mimpi yang terbingkai rapi dalam filosofi sepi ing pamrih rame ing gawe itu menjadi kekuatan tersendiri bagi teman-teman untuk menemukan dan mengikuti panggilan nurani. Apa pun panggilan nurani itu, sejatinya itulah yang menghiasi seruang jiwa dan dapat menginspirasi siapa saja. Berbekal tekad, juga doa, dukungan, dan donasi dari teman-teman di daerah lain yang tak dapat saya sebutkan satu per satu, mereka mulai menyelesaikan tahapan demi tahapan yang harus dikerjakan. Setelah melewati beberapa kali bulan purnama, juga beragam tantangan dan hambatan internal maupun eksternal yang ada, sanggar belajar dan bermain bernama Studio Biru itu pun terwujud. Dari perjalanan mimpi teman-teman tersebut saya bisa merekam bahwa kebaikan saja tidak cukup, harus ada kemampuan untuk aktif di dalam mewujudkan yang baik. Bagaimanapun harapan dan mimpi tak akan bertentangan dengan ketulusan. Pertentangan justru muncul ketika kita bermalas-malasan untuk mewujudkan harapan dan mimpi tersebut mewujud dalam kenyataan. Atas ketulusan teman-teman dalam mengawal mimpi, satu kata pun cukup berlebihan untuk mendedahkannya. Apresiasi Federal Oil terhadap hasil kerja teman-teman 10 Oktober kemrin membuktikan Gusti Mboten Sare terhadap setiap peluh yang meluruh dan ketulusan yang telah teman-teman lakukan. Bagaimana canting, studio biru, dan 1000 burung kertas ke depan, teman? Mari kita obrolkan di Pendopo Dalem atau angkringan Wijilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun