Mohon tunggu...
Aziz Safa
Aziz Safa Mohon Tunggu... Programmer - editor dan operator madrasah

jika hidup mempunyai arti yang beragam, tentunya bahagia juga tak bermakna tunggal

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Maman dan Joni

28 Juli 2011   07:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:18 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_122030" align="aligncenter" width="356" caption="(gambar: wartakota.co.id)"][/caption]

Bukan menjadi rahasia lagi jika cinta membutakan. Bahkan, gila menjadi nama lainnya. Begitu banyak orang bilang.Jika cinta sudah melanda, pelakunya akan terinduksi secara kimiawi. Hal ini akan berlangsung sampai tubuh membangun kekebalan tersendiri, yang biasanya hanya dibangun dari intensitas pertemuan alias kencan yang terjadwal dengan konstan.

Siang itu Maman, pemuda tampan berdada bidang, tampak berdandan tidak seperti biasanya. Ia berniat pergi ke rumah Joni yang baru sebulan ditinggal mati istrinya. Ia berjalan melenggang memasuki komplek perumahan baru, petentang-petenteng memamerkan tubuh atletisnya yang dibalut kemeja baru asli buatan kota sandang Tanah Pasundan: Bandung.

Maman digandrungi para cewek sebab tampan dan otaknya yang lumayan brilian. Di desanya, ia menjadi pemuda idaman para gadis dan digadang-gadang ibu-ibu arisan. Banyak di antara mereka yang menaruh simpati dan bahkan berharap Maman mau menikahi anak gadis mereka. Tak sedikit gadis yang berharap bisa menjadi pacar pemuda flamboyan ini.

“Mas Maman udah punya pacar? Kalau belum, sama anak saya saja,” begitu selalu tawaran para ibu. Maman pun sering mendapatkan sapaan para gadis yang tanpa segan menunjuk dada seolah menggambar daun waru, “Mas Maman, aku... kamu!”. Semua itu sering dijawab Maman dengan senyuman. Maman semakin membikin penasaran para ibu dan para gabil, gadis labil.

Siang itu pula, di sudut kamar sebuah rumah, Joni sedang berdendang riang. Pria metroseksual ini bersolek sambil bernyanyi, menunggu Maman datang menyambangi. Pasti sebentar lagi datang, batin Joni yang sudah tahu jam tandang Maman. Ternyata benar, tak selang lama Maman muncul, menyembul dari balik pintu dengan model rambutnya yang khas: spike.

Ting tong ting tong!

Ya, mlebu ae, lawange gak dikunci kok!” (Masuk aja, pintunya gak dikunci kok, Mas!), jawab Joni dengan bahasa medoknya dari dalam rumah.

“Main kuda-kudaan yuk, Cyn!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun