[caption id="attachment_91960" align="aligncenter" width="350" caption="(sumber foto: article.wn.com)"][/caption]
Seorang gadis kecil sedang menemani ibunya berbelanja di sebuah swalayan. Gadis cantik berambut hitam ikal mayang itu umurnya kurang lebih 6 tahun. Ia mengarahkan pandangannya kepada kami yang berdiri di luar, kemudian melihat hujan yang begitu deras mengguyur bumi sore menjelang malam itu. Aku, istriku, dan beberapa orang berdiri mematung di bawah tenda kanopi di depan swalayan.
Ada yang sabar menunggu hujan mereda. Ada juga yang jengkel dan mengutukinya lantaran begitu deras guyurannya. Tapi entah, aku selalu terpesona dengannya. Aku merasa, hujan adalah salah satu cara penghuni langit membasuh kotoran dan debu dunia. Di samping berkah bagi para petani yang tak lelah menanti tiap tetesnya untuk mengairi sawah agar tanaman mereka tak kering meradang. Saat hujan turun, slideshow kenangan pun membayang di pikiran. Dari masa suka ria anak-anak yang menikmati hujan dengan berlari ke sana kemari tanpa baju berebut bola di halaman rumah dan gang-gang sempit, masa ketika aku dan teman-teman SMP harus menjinjing sepatu sambil tertawa riang, hingga masa saat aku terjebak dan berharap hujan turun lama agar aku bisa lebih panjang menikmati kebersamaan dengan seseorang, perempuan tentunya. Setiap ada hujan, selalu saja aku teringat betapa kalang kabutnya ibuku memunguti cucian orang serumah yang belum kering, sementara aku lebih memilih bantal guling dan selimut sebagai pelarian untuk menghangatkan badan. Namun, bagi siapa pun yang sedang kasmaran, betapa tetesan airnya adalah ayat-ayat keindahan yang tak jarang membuatnya lupa akan keramaian ruang dan bahkan teman. Tiba-tiba, ada suara kecil menyadarkan lamunanku. Ternyata, anak kecil cantik tadi sedang bercakap-cakap dengan ibunya. “Bunda, mari kita nekat jalan menerobos hujan!” katanya. “Apa?” jawab ibunya. “Mari kita nekat jalan melewati hujan, Bunda!” ulangnya. “Tidak, Sayang! Kita akan menunggunya sampai mereda,” jawab sang ibu. Setelah anak kecil itu menunggu sekira satu menit, dia mengulang lagi ajakannya, “Mari kita nekat jalan melewati hujan, Bunda?” “Jika kita nekat, kita akan basah kuyup,” kata sang ibu. “Tidak, kita tidak akan basah kuyup, Bunda. Bukankah itu yang Bunda katakan pagi tadi?” kata gadis kecil itu sambil menarik-narik tangan ibunya. “Tadi pagi, yang benar? Kapan Bunda bilang kita bisa berjalan melewati hujan dan tidak basah?” “Apa Bunda tidak ingat saat Bunda berbicara dengan ayah tentang kanker Bunda? Tadi Bunda bilang, ‘Jika Tuhan memampukan kita melewati ini, Dia bisa membuat kita melewati apa pun!’.” Aku, istriku, dan orang-orang di sekitarku tercekat. Ibu itu pun terdiam, berkaca-kaca, dan tampak sedang berpikir untuk menenangkan putrinya. “Sayang, kamu benar sekali. Mari kita menikmati hujan. Jika Tuhan membiarkan baju kita basah, kita hanya butuh mencucinya dan mengeringkannya kembali,” kata ibu. Kemudian, ibu dan anak kecil itu melipat lengan baju dan celana. Sambil berlari-lari kecil, keduanya menggunakan tas belanjaan untuk menutupi kepala masing-masing. Dari kejauhan, kami hanya berdiri menonton, tersenyum dan tertawa saat melihat ibu dan anak itu melewati genangan air sambil bercanda.
Saat kudapati istriku tersenyum dan mengangguk, aku segera melipat ujung celana jinsku. Aku berlari-lari menerobos buliran air yang kerap merintik. Kendati baju dan tubuh kami basah, kami bisa berteriak dan tertawa bebas laiknya anak kecil. Kami begitu menikmati hal itu.
Apa pun waktu dan keadaan kita, kita bisa menjadikannya sebagai kesempatan untuk menciptakan momen berharga. Di setiap musim, selagi langit masih mengatapi bumi, kita bisa meluangkan waktu untuk menikmati hidup, melalui hujan misalnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H