"Geser-geser, ke kanan lagi. Stop! Ahhh bagus ini."
"Full body ya, mbaknya senyum dong? hehe."
"Antos ellu, fotona epakeremma ka emmak moso engkok (tunggu dulu, fotonya mau ku kirim ke ibuk)."
Begitulah kesan pertama saya saat satu tahun yang lalu menginjakkan kaki di kota Yogyakarta. Saya langsung terpana sekaligus takjub dengan nuansa malamnya yang menghibur dan tak berhenti memanjakan mata. Berjalan ke kanan sedikit langsung bertemu dengan lampu kelap-kelip, berjalan ke kiri berjumpa dengan penjual wedangronde, berjalan terus tiba-tiba bertemu dengan kumpulan musisi alias pengamen yang bikin dompet bocor. Kenapa tidak, hampir setiap kali pengamen menghampiri pasti menyodorkan kresek empatinya, Hmmm mungkin ini gara-gara saya berjalan terlalu jauh ya?.
Lupakan tentang pengamen, lebih baik saya ceritakan tempat pertama di Yogyakarta yang membuat saya jatuh cinta. Malioboro namanya, tempat bersejarah yang takkan saya lupakan, tempat yang juga serat akan seni dan senimannya.
Alkisah, kata malioboro dalam bahasa sansakerta bermakna karangan bunga, konon kata malioboro juga berasal dari nama seorang konolial Inggris yang bernama Marlborough yang pernah tinggal disana pada tahun 1811-1816 M. Sejarah perkembangan sastra Indonesia pun juga pernah mengudara disana, tahun 1970-an malioboro menjadi pusat dinamika seni dan panggung bagi seniman jalanan yang ada di Yogyakarta.
Selain memiliki bangunan dan tempat bersejarah, Yogyakarta juga memiliki banyak sekali tempat wisata yang indah dan menarik. Saya yakin kamera kalian takkan mau lepas dari tangan, sebut saja wisata yang terdapat di Daerah Gunung Kidul. Seperti yang dilansir dalam salah satu web (tempatwisataseru.com), daerah tersebut sudah memiliki 72 objek wisata yang terdiri dari pantai, air terjun, goa, hutan, dan bukit. Gokil bangetkan.
Sebagai bukti kalau saya bukan pencitraan apalagi menjadi agen promosi, saya akan menunjukkan data pengungjung disana. Tiga hari liburan natal dan tahun baru 2018 yang lalu, jumlah wisatawan yang mengunjungi wisata Gunung Kidul tercatat sebanyak 68.367 jiwa.
Ya, jumlah yang cukup besar melihat tempat wisata tersebut baru saja melejit di santero Yogyakarta. Apalagi pada hari rabu, 10 Januari 2018 Gubernur DIY, Sri Sultan HB X telah meresmikan jalan penghubung antara Kabupaten Sleman dan Gunungkidul yang nantinya diharapakan mempercepat akses masuk untuk para wisatawan. Â Â
Ok cukup segitu saja ceritanya, mungkin kalian sudah tahukan mengapa saya suka selfi disana, ya begitulah cara saya seorang mahasiswa baru (maba) mempelajari dan mengabadikan kota Yogyakarta dalam kehidupan sehari-hari. Tapi, itu sudah satu tahun yang lalu.
Sekarang saya sudah berhenti bruu, tepatnya pada malam tahun baru 2018 pukul 00.15 bersama jilatan kembang api dan aroma ikan bakar ditaburi sambel mentah, saya berpikir. Ternyata ber-selfi itu membuat saya mudah lupa, lupa akan tujuan awal saya ke Yogyakarta, lupa jadwal pelajaran kuliah, lupa tanda tanganin teman di presensi, lupa mantan upsss, bahkan saya lupa sekarang saya itu lagi kuliah dimana. Kok bisa?
Siapa yang kenal kota pelajar?
Ada yang bisa jawab pertanyaan itu? Kalau tidak mari saya kenalkan.
Kota pelajar sebenarnya merupakan sebuah julukan kota yang ada di Indonesia, seperti kota kelahiran saya Sumenep. Sumenep dijuluki sebagai kota garam karena mayoritas penghasilan garam disana lebih banyak dibandingkan kota-kota lainnya. Julukan tersebut tidak menilai dari kualitas melainkan kuantitas. Selain alasan tersebut, jika ditarik garis sejarah pradaban masyarakat disana, Sumenep sudah menjadi tempat petani garam sejak abad ke-21. Lalu kota siapa yang dijuluki sebagai kota pelajar?
Ya, jawabannya adalah Kota Yogyakarta. Ketika kita masih duduk di bangku sekolah, guru selalu memberi tahu bahwa Yogyakarta itu adalah kota pelajar. Mangkanya image kota pelajar sebenarnya sudah tertanam baik dalam pikiran siswa. Kemudian banyak orangtua yang mengirimkan anak-anak mereka agar kuliah di Yogyakarta, termasuk saya. Selain alasan doktrin tersebut, penduduk di Yogyakarta memang hampir 20% adalah dari kalangan pelajar/mahasiswa.
Diambil dari halaman resmi (forlap.ristekdikti.go.id) bahwa di Yogyakarta sekarang sudah memiliki 137 unit kampus. Kebanyakan perguruan tinggi di Yogyakarta gedungnya bagus-bagus, mutunya terjamin, akreditasinya baik. Sehingga tak sedikit pelajar dari berbagai kota, suku dan agama berjemaah hijrah kesana.
Gimana, sudah kenal belum sama kota pelajar? Saya pikir masih belum deh.Â
Ternyata eh ternyata, dibalik sebutan Yogyakarta sebagai kota pelajar, menyimpan sebutan lainnya. Menurut saya kalian harus kenal dan tahu satu persatu sebutan mengenai Yogyakarta, khususnya mahasiswa baru yang masih unyu-unyunya ada disana.
Layaknya Dewa Brahma, Yogyakarta juga memiliki sekian banyak rupa. Mulai rupa sebagai kota pelajar, kota budaya, kota seni dan yang terakhir sebagai kota wisata. Diantara banyaknya nama yang diberikan kepada Kota Yogyakarta tercinta, nama kota wisatalah yang sekarang menjadi primadona.
Ya, Sebutan kota wisata sudah siap mengganti wajah kota pelajar yang dulu sering didongengkan oleh guru kita. Semakin banyaknnya pembangunan disana mengisyaratkan bahwa sebentar lagi Yogyakarta akan berimigrasi menjadi pasar wisata. Mengapa tidak, Hotel, mall, penginapan, resto, cafe dan pembangunan bandara baru yang bertaraf internasional sudah kelar dilaksanakan.
Lalu, pertanyaannya adalah apa masalahnya jika Yogyakarta menjadi kota wisata? Bukankah itu dapat membantu keuangan masyarakat disana?
Jujur saya bukan orang yang suka cari masalah apalagi membuat masalah, saya ingat pesan orantua saya dikampung, mereka mengatakan " Uang itu bukan segalanya". Bagi saya (seorang mahasiswa) ucapan itu sangatlah benar dan terpuji, namun tidak dengan para kaum kapitalis. Jika ditanya tentang uang, mereka langsung menghalalkan semua cara, tak melihat dosa, tak mendengar kalau siksa kubur itu benar-benar ada.
Desa Temon, Kulon Progo, Bantul, menyisahkan banyak luka dalam hati saya. Waktu itu, tepatnya tanggal 5 Desember 2017 aksi penyergapan diselepi tindak diskriminatif dilakukan oleh aparat kepada warga. Warga yang menolak pembangunan bandara di Kulon Progo dipaksa angkat kaki dari sana. Seperti berita yang dilansir dalam (persmaporos.com) ada salah satu warga yang berlari menjerit mengaku mendapat tindakan kekerasan dari polisi, " Iki aku diantemi! (ini aku dihantam). Aku ditekek! (aku dicekik).
Bagi mereka tanah disana sudah banyak memberi perubahan dalam keluarga mereka, mulai dari bertani, membangun tambak udang hingga menjadi nelayan. Jika kejadian ini menimpa kampung kalian, apa yang akan kalian lakukan. Saya tidak bermaksud menakut-nakuti, akan tetapi selagi uang masih menjadi pilihan pertama dikalangan masyarakat sana, ya tinggal nunggu waktu tiba saja.
Melihat kejadian di atas, mahasiswa Yogyakarta tidak berdiam diri saja. Al-hasil 12 mahasiswa ditangkap dan dipukuli. Salah satunya adalah wartawan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi Universitas Negri Yogyakarta (UNY), Rimbawana yang diangkat kakinya, dijambak serta diseret-seret oleh beberapa personel polisi.
Hayyan teman satu organisasi dengan saya mengatakan saat kejadian tersebut Rimbawana layaknya boneka bekas yang ditendang-tendang dan tidak dilakukan layaknya manusia. Selain itu, tidak hanya Rimbawana saja yang mendapatkan kekerasan, Syarif Hidayat pun katanya. Syarif juga salah satu mahasiswa yang mendapatkan kekerasan dari polisi, dia ditarik, dilemparkan, dikepung, dicekik dan dipukuli habis-habisan, " Aku sudah tidak bisa bernafas, buat nafas juga keluar darah, mulut keluar darah terus" ujar Syarif kepada Hayyan.
Lah ngapain mahasiswa ikut campur, itukan sudah agenda negara? Mau jadi jagoan?
Sebelumnya saya beri salam hormat kepada yang mengatakan seperti itu. Dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999 Pasal 100 menjelaskan, " Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia."
Selain itu UU no. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 66 menjelaskan, " Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata." Menurut saya dua pasal tersebut sudah cukup untuk menjadi kekuatan mahasiswa yang berjuang bersama rakyat untuk melawan kesewenang-wenangan kekuasaan.
Kota Pelajar To Be Continued....
Tak ada kata yang tepat untuk mengakhiri drama Kota Yogyakarta saat ini, selain menyaksikan dan menikmati suguhan politiknya. Terkadang kita sering melupakan akan hal penting yang ada di sekeliling kita, entah itu dari segi sosial, politik, ekonomi hingga pendidikan. Ruh Yogyakarta sebagai kota pelajar seakan sirna dalam sekejap mata, banyak para pelajar lebih memilih aktif di dunia maya daripada dalam dunia nyata. Oleh karena itu, saya memutuskan berhenti melakukan selfi dimana saja sebagai bentuk protes, bahwa saya menolak jika Yogyakarta menjadi kota wisata.
Jika pertamakali saya kenal Yogyakarta sebagai Kota Pelajar di kampung, saya selalu berkata begini kepada teman-teman " Saya tambah semangat belajar disana, saya akan mengubah dunia dengan pendidikan yang saya dapat, saya akan selalu bertemu para pemikir dan penyair disana". Tapi, jika Yogyakarta berubah menjadi Kota Wisata maka saya akan berkata, " Saya tambah semangat ber-selfi disana, saya akan mengubah dunia dengan foto yang saya dapat, saya akan selalu bertemu para pemotret dan pemosting disana".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H