Desa Temon, Kulon Progo, Bantul, menyisahkan banyak luka dalam hati saya. Waktu itu, tepatnya tanggal 5 Desember 2017 aksi penyergapan diselepi tindak diskriminatif dilakukan oleh aparat kepada warga. Warga yang menolak pembangunan bandara di Kulon Progo dipaksa angkat kaki dari sana. Seperti berita yang dilansir dalam (persmaporos.com) ada salah satu warga yang berlari menjerit mengaku mendapat tindakan kekerasan dari polisi, " Iki aku diantemi! (ini aku dihantam). Aku ditekek! (aku dicekik).
Bagi mereka tanah disana sudah banyak memberi perubahan dalam keluarga mereka, mulai dari bertani, membangun tambak udang hingga menjadi nelayan. Jika kejadian ini menimpa kampung kalian, apa yang akan kalian lakukan. Saya tidak bermaksud menakut-nakuti, akan tetapi selagi uang masih menjadi pilihan pertama dikalangan masyarakat sana, ya tinggal nunggu waktu tiba saja.
Melihat kejadian di atas, mahasiswa Yogyakarta tidak berdiam diri saja. Al-hasil 12 mahasiswa ditangkap dan dipukuli. Salah satunya adalah wartawan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi Universitas Negri Yogyakarta (UNY), Rimbawana yang diangkat kakinya, dijambak serta diseret-seret oleh beberapa personel polisi.
Hayyan teman satu organisasi dengan saya mengatakan saat kejadian tersebut Rimbawana layaknya boneka bekas yang ditendang-tendang dan tidak dilakukan layaknya manusia. Selain itu, tidak hanya Rimbawana saja yang mendapatkan kekerasan, Syarif Hidayat pun katanya. Syarif juga salah satu mahasiswa yang mendapatkan kekerasan dari polisi, dia ditarik, dilemparkan, dikepung, dicekik dan dipukuli habis-habisan, " Aku sudah tidak bisa bernafas, buat nafas juga keluar darah, mulut keluar darah terus" ujar Syarif kepada Hayyan.
Lah ngapain mahasiswa ikut campur, itukan sudah agenda negara? Mau jadi jagoan?
Sebelumnya saya beri salam hormat kepada yang mengatakan seperti itu. Dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999 Pasal 100 menjelaskan, " Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia."
Selain itu UU no. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 66 menjelaskan, " Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata." Menurut saya dua pasal tersebut sudah cukup untuk menjadi kekuatan mahasiswa yang berjuang bersama rakyat untuk melawan kesewenang-wenangan kekuasaan.
Kota Pelajar To Be Continued....
Tak ada kata yang tepat untuk mengakhiri drama Kota Yogyakarta saat ini, selain menyaksikan dan menikmati suguhan politiknya. Terkadang kita sering melupakan akan hal penting yang ada di sekeliling kita, entah itu dari segi sosial, politik, ekonomi hingga pendidikan. Ruh Yogyakarta sebagai kota pelajar seakan sirna dalam sekejap mata, banyak para pelajar lebih memilih aktif di dunia maya daripada dalam dunia nyata. Oleh karena itu, saya memutuskan berhenti melakukan selfi dimana saja sebagai bentuk protes, bahwa saya menolak jika Yogyakarta menjadi kota wisata.
Jika pertamakali saya kenal Yogyakarta sebagai Kota Pelajar di kampung, saya selalu berkata begini kepada teman-teman " Saya tambah semangat belajar disana, saya akan mengubah dunia dengan pendidikan yang saya dapat, saya akan selalu bertemu para pemikir dan penyair disana". Tapi, jika Yogyakarta berubah menjadi Kota Wisata maka saya akan berkata, " Saya tambah semangat ber-selfi disana, saya akan mengubah dunia dengan foto yang saya dapat, saya akan selalu bertemu para pemotret dan pemosting disana".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H