Momen wisuda yang masih hangat belakangan ini hingga menjadi bahan perbincangan mulai dari grup-grup WA sampai kolom-kolom komentar di media sosial. Polemik untuk menjadikan hak wisuda merata bagi semua jenjang pendidikan menuai pro kontra mengingat tidak semua kalangan memiliki kemampuan ekonomi merata.
Padahal logika simpelnya, justru wisuda sekolah bisa jadi opsi yang tepat karena tidak semua (atau kebanyakan) para orang tua pun belum tentu mampu membiayai anak-anaknya sampai bangku kuliah.
Dan perlu diketahui juga bahwa biaya pendidikan semakin naik jenjang relatif semakin besar. Itupun belum menghitung inflasi biaya pendidikan yang menurut data naik sekitar 10-15% setiap satu tahun.
Jangankan perbedaan sikap tentang momen wisuda, penetapan hari raya pun bisa berbeda-beda tergantung dari kelompok mana Ia berada. Hal ini menunjukkan bahwa polemik wisuda ini bukan pada posisi siapa yang benar dan salah mengingat kondisi tiap individu berbeda-beda. Pada hakikatnya, semuanya benar sekaligus salah disaat yang bersamaan bagi mereka yang tidak sependapat.
Jika wisuda dilihat dari segi pemborosan, maka berbagai acara dan event-event lain pun sama halnya sebagai pemborosan. sebut saja seperti penyelenggaraan konser-konser musik dan tiket nonton olahraga mulai dari badminton, voli, dan sepakbola yang bahkan merupakan pemborosan yang jauh lebih besar, namun toh tetap laku keras juga sampai-sampai banyak pula yang tidak kebagian.
Contoh lainnya mirip seperti mereka yang mengurungkan niat untuk berkurban di momen idul adha karena merasa nominal membeli hewan kurban begitu besarnya hingga 3 jutaan, sementara di sisi lain mereka mengeluarkan uang untuk tiket konser begitu mudahnya padahal dengan nominal lebih besar.
Bayangkan saja mereka bahkan banyak sekali yang memaksakan diri hutang kesana kemari mulai dari pinjaman offline/online, gadai ini itu, jaminan ini itu, dll demi menyaksikan konser atau event event terkait. Kurang memprioritaskan gimana lagi mereka ini?
Jadi ini pun sebenarnya bukan tentang boros dan hemat, atau tentang mahal dan murah melainkan lebih ke skala prioritas saja. pertanyaannya, apakah wisuda ini memang beneran mahal atau memang bukan prioritas saja?
Berangkat dari paparan diatas dapat disimpulkan, bahwa momen wisuda sebenarnya bukan prioritas bagi mereka yang kontra (mungkin mirip seperti analogi kurban diatas) sekaligus menjadi prioritas pula bagi mereka yang pro.
Karena jika disikapi sebagai pemborosan, maka ga perlu wisuda sekolah saja yang dihapuskan, kalau perlu wisuda mahasiswa pun sekalian saja dihapuskan karena pada esensinya pun itu sama halnya dengan menghambur-hamburkan uang.
Akan tetapi jika disikapi sebagai penghargaan, maka sejatinya nominal tidaklah sepadan dengan kenang-kenangan dan kebahagiaan pihak-pihak terkait. Baik itu mulai dari TK maupun hingga mahasiswa.
Bahkan jika dilihat dari segi usia, mungkin saja kesempatan wisuda yang ada didepan mata menjadi opsi terbaik yang bisa diambil karena bersifat pasti disaat itu. Karena untuk apa kita menunggu putra-putri kita wisuda di jenjang kuliah sedangkan sekarang pun bisa dilakukan? Sementara di sisi lain mungkin para orang tua tidak ada jaminan untuk bisa menyaksikan momen wisuda putra-putrinya di masa mendatang.
Analoginya mirip seperti cerita kemarin mereka para anak yang tidak bisa mudik lebaran ke kampung halaman karena corona, namun setelah corona hilang mereka tidak memiliki gairah untuk kembali lagi pulang ke kampung halaman mereka karena ternyata orang tua mereka sudah tiada disaat mereka tidak bisa pulang karena virus corona.
Oleh karena itu, sewa baju toga wisuda (tanpa harus beli yang lebih membebani) berbagai ukuran yang lebih terjangkau dibanding sewa baju adat, jas, kebaya dan sejenisnya bisa menjadi alternatif ditengah-tengah pro dan kontra ini.
Kita Wisuda akui bahwa kami telah bermitra dengan beragam sekolah di berbagai kota untuk penyelenggaraan momen wisuda di segala jenjang pendidikan, dimana hal ini menunjukkan bahwa banyak juga yang pro tentang wisuda. Baik sekolah negeri maupun swasta.
Lebih jauh, pihak Kemendikbud juga memutuskan bahwa momen wisuda bukan kewajiban sekaligus bukan pelarangan melainkan bersifat opsional sesuai kesepakatan. jadi mau ada wisuda ataupun mau tidak ada wisuda ya semuanya bagus. it's good for all.
Oleh karenanya, mari kita saling menghargai saja tanpa harus menyudutkan dan menyalahkan satu sama lain. sebagaimana NU dan Muhammadiyyah saling menghargai dalam menyikapi perbedaan hari raya.
Dengan berbagai pertimbangan diatas, kami sendiri berpendapat bahwa momen wisuda setahun sekali ini sungguh layak diapresiasi dan disemarakkan sebagai bentuk penghargaan atas pencapaian buah hati kesayangan. toh uang bisa dicari, akan tetapi momentum wisuda tidak terjadi setiap hari. dan kita semua tahu bahwa penyesalan selalu terjadi belakangan.
Namun yang lebih penting adalah wisuda boleh dilaksanakan dengan catatan tanpa membebani orang tua dan terjadi atas dasar kesepakatan bersama antara pihak sekolah dan orang tua murid.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H