Hingga beberapa saat setelah diskusi saya dengan ketua kloter dan petugas pembimbing ibadah kloter, kepastian apakah pesawat akan melintasi Yalamlam belum juga didapatkan. Tiba-tiba ada seorang pembimbing ibadah dari salah satu KBIH menghampiri saya mengajak diskusi tentang miqat ihram.Â
Menurut pengalaman dan perkiraannya, pesawat tidak akan melintasi Yalamlam tapi akan melintasi Qarnul Manazil (miqat makani bagi jamaah yang datang arah Nejed atau Riyadh). Saya sendiri hanya mendengarkan informasi sepihak tersebut tanpa mengambil sikap apa-apa. Kemudian pembimbing tersebut mangajak saya, jika nantinya tidak ada informasi dari pesawat terkait miqat,  untuk sama-sama membimbung  jamaah memulai niat ihram 30 menit sebelum pesawat melintasi di Qornul Manazil.
Terhadap ajakan tersebut sontak pikiran kritis saya tidak langsung mengiyakannya. Saya bertanya kepadanya, "Dari mana kita mengatahui kalau pesawat melintasi Qornulanazil dan tidak melintasi Yalamlam?" Â Ia pun menjawab berdasarkan keyakinan dan pengalaman.Â
Lalu, saya melanjutkan pertanyaan kedua, "Mengapa kita berniat ihram 30 menit sebelum melintas di atas titik miqat?" Ia pun menjawab bahwa berdasarkan pengalaman pesawat melintasi di Qarnul Manazil 20 menit sebelum mendarat di Jeddah. Kemudian ia melanjutkan karena kita tidak tahu persis maka kita antisipasi berniat ihram sebelumnya agar tidak kelewatan.
Terhadap jawaban-jawaban tersebut saya belum bisa menerima pembenarannya secara fiqih. Maka secara diplomatis saya menjawab bahwa kita menunggu dulu informasi lebih lanjut dari kru pesawat. Sambil menunggu info tersebut saya berkeliling ke tepat-tempat duduk jamaah KBIH saya untuk mengingatkan kembali tata cara berniat ihram dan hal-hal yang menjadi larangan ketika berihram.
Beberapa pertanyaan muncul dari jamaah, seperti bagaimana kalau setelah ihram berhadas, bagaimana kalau lupa melanggar larangan ihram, dan beberapa pertanyaan lain. Ketika saya melintasi deretan kursi yang berisi beberapa anak muda dari KBIH lain, muncul suara dari tengah mereka, "Ustadz boleh tanya, kalau berihram boleh ngrokok dak?". Saya pun menjawab dengan pertanyaan, "Emang boleh merokok di pesawat?"Â
Mereka menimbali, "Maksudnya nanti kalau sudah di Mekah". Kemudian saya jawab dengan sedikit penjelasan bahwa merokok tidak termasuk larangan ihram, tetapi kita juga harus menghormati adab dan norma yang berlaku di negeri Arab dengan tidak merokok di sembarang tempat terutama di area Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Saya kemudian mengakhiri penjelasan saya dengan sedikit berkelakar, "Mas, sampeyan gowo roko'e terbatas tho, saya punya tips agar awet, yaitu gak usah bawa korek .."
Setelah dirasa cukup berkeliling dan memberikan pengarahan tentang ketentuan ihram, saya kemudian kembali ke tepat duduk. Salah seorang ketua regu berjalan dari arah depan pesawat menghampiri saya dan memberikan kabar gembira, "Tadz..tadi saya sudah tanya ke salah satu pramugari. Nanti lewat Yalamlam dan akan diumumkan." Saya pun merespon dengan senyum dan menganggukkan kepala sambil melayangkan jempol tangan kanan.
Dalam keadaan hati yang nyaman disertai kewaspadaan agar tidak terserang kantuk, saya duduk sambil mengingat-ngingat lagi langkah apa yang harus saya lakukan menjelang pengumuman miqat. Â Saat terdengar suara yang menginformasikan bahwa beberapa saat lagi pesawat akan melintasi Yalamlam.Â
Saya pun bergegas untuk berkeliling lagi mengingatkan jamaah agar tidak ada yang tertidur. Beberapa saat kemudian terdengar suara dari ketua  kloter melalui pengeras suara pesawat memberi aba-aba untuk memulai niat ihram dan melafalkan "labbaika umrotan" . Ketua kloter melanjutkan memimpin doa dan kumandang talbiyah. Selanjutnya suara talbiyah terus bergema mengiringi laju pesawat menuju bandara King Abdul Azis Jeddah. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H