Namun setiap selesai gelaran pemilu hasilnya ya hampir seperti itu-itu saja dalam pengertian tidak ada perubahan signifikan dalam kehidupan dan perjalanan bangsa menuju kemerdekaan yang menyeluruh dan hakiki.
Kontestasi politik lebih bernuansa sebagai ajang kontes  adu kekuatan kelompok daripada memilih pemimpin yang terbaik. Pertarungan gagasan dan program untuk memajukan bangsa kalah seru dengan adu keren pasangan calon. Bahkan yang lebih seru lagi adu unjuk kekuatan dan saling melemahkan antar 'funs club' paslon dengan berbagai intrik-intrik, pencitraan, black campaign, ujaran kebencian, hingga  dan adu  survey dari survey yang sungguhan hingga yang ala-ala.
Politik kita juga berbiaya tinggi dan menjadi pemicu korupsi di Indonesia. Selain melahirkan kejahatan korupsi, politik biaya tinggi menjadi penghalang bagi anak bangsa yang berkualitas untuk menjadi bagian dari kepemimpinan nasional jika tidak punya uang. Inilah mengapa kalangan pengusaha sangat mendominasi dalam konstelasi politik di Indonesia.Â
Sebagian besar partai politik dipimpin oleh kalangan pengusaha yang memiliki kekayaan melimpah. Partai politik mirip seperti "pemilik" "korporasi" yang dikuasai oleh para pemodal besar yang memiliki kepentingan politik tertentu.
Hal ini tentu berdampak pada ketidakmerdekaan partai dalam mengembangkan kebijakan dan arah politiknya karena pengaruh penyandang dana yang sangat kuat. Imbasnya partai cenderung tidak peka terhadap aspirasi masyarakat dan kepercayaan masyarakat pun terhadap partai politik menjadi melemah.
Survey yang dilakujan oleh Indobarometer pada bulan Maret 2017 membenarkan hal tersebut. Menurut Survey tersebut kepercayaan masyarakat terhadap partai politik rendah. 51,3 % responden menilai partai politik buruk. Terkait dengan kedekatan masyarakat dengan partai politik, 62,9 persen masyarakat merasa tidak dekat dengan partai politik.
Melihat kenyataan ini, bukan berarti ada alasan bagi kita untuk mengeluh, atau saling menuding siapa yang salah, dan saling menunjukkan diri siapa yang paling berperan atas kemajuan bangsa.
Sejatinya bersyukur itu tidaklah statis, bersyukur itu memiliki sifat dinamis. Oleh karena itu mensyukuri kemerdekaan tidak berarti merasa puas dengan kondisi yang ada, tetapi memanfaatkan anugerah kemerdekaan yang diberikan oleh Allah dengan senantiasa berjuang mengisi kemerdekaan tersebut.Â
Perjuangan kemerdekaan juga tidaklah berakhir pada 17 Agustus 1945, tetapi harus terus digelorakan dalam konteks dan zaman yang berbeda. Perjuangan kemerdekaan itu seperti perjuangan hidup yang juga tidak pernah berhenti selama hayat masih dikandung badan. Wallahu al-musta'an.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H