Kata angkringan tidaklah asing bagi orang Jawa terutama di daerah Solo dan Jogja. Angkringan adalah tempat berjualan wedang dan  dan makanan di pinggir jalan.
Angkringan menjadi tempat pavorit sebagian orang untuk kongko-kongko sambil menyeruput wedang atau minuman panas terutama kopi dan teh. Di angkringan, orang bisa bercengkrama dengan handai tolan tentang banyak hal, mulai dari gosip recehan hingga masalah politik berkelas.
Ngangkring, istilah untuk aktivitas jajan di angkringan, mendatangkan sensasi tersendiri. Suasana egaliter dan merakyat menjadi kenikmatan tersendiri untuk melepaskan pent dan letihnya bekerja seharian.
Ngangkring atau nongkrong dalam Islam hukumnya mubah, artinya tidak ada larangan dalam agama untuk dilakukan. Namun sesuatu yang mubah bisa mendatangkan hal-hal negatif jika dilakukan secara tidak tepat dan tidak proporsional. Ketika seseorang memiliki kesenangan makan malam di angkringan sambil kongko-kongko sewajarnya, tentu tidak masalah. Tetapi kalau aktivitas ngankring melebihi kewajaran bahkan berjam-jam, maka ada banyak waktu yang terbuang kurang bermanfaat. Apalagi jika kebiasaan itu dilakukan tiap hari.
Fenomena killing the time atau istilah kita "buang-buang waktu" tidak hanya terjadi di angkringan tapi di banyak aktivitas. Ada yang menghabiskan  waktu-waktu malam di pos kamling sambil bermain catur atau kartu. Ada pula yang menghabiskan waktu-waktu malam untuk nongkrong bersama teman sambil bermain gitar.
Generasi kekinian jamak menghabiskan waktu mereka untuk main game online maupun ofline. Istilah mabar (main bareng) menjadi istilah populer di kalangan generasi kekinian. Mabar umumnya dilakukan dengan jarak jauh. Â Namun sering juga dilakukan secara berdekatan di satu tempa tertentu.
Ketika bermain secara solo saja para gamer banyak yang terlena berasyik masyuk dengan game berjam-jam bahkan bisa seharian atau semalaman, apalagi ketika maen bersama yang sensasinya lebih menantang lagi.
Waktu adalah modal utama yang dimiliki oleh manusia untuk mempersiapkan masa depannya. Bahkan dalam pepatah Arab dikatakan al waqtu huwa al hayah.(Waktu adalah kehidupan itu sendiri). Tiada orang yang bisa hidup tanpa diberi waktu.
Waktu yang disediakan oleh Allah untuk setiap hamba dalam sehari semalam adalah sama  yaitu 24 jam. Presiden diberi waktu 24 jam. Pengusaha sukses diberi wakru 24 jam. Penulis produktif  diberi waktu 24 jam. Pun tukang parkir dan pengangguran juga diberi 24 jam. Yang membedakan manusia sukses dan tidak adalah kepandaian menggunakan waktu.
Kebanyakan orang terlena  dengan kesempatan hidup yang dimiliki. Panjangnya usia tidak menjamin cukupnya bekal untuk mendapatkan kesuksesan. Bisa jadi modal utama yang dimiliki (yaitu waktu) disia-siakan.
Nabi Muhammad saw. Bersabda: "Ada dua nikmat, kebanyakan manusia terpedaya olehnya. Yaitu nikmat sehat dan sempat."
Apa yang telah terlewat dari waktu tidak akan pernah terulang. Itulah ciri khas waktu  yang harus selalu kita tempelkan dalam benak kita. Waktu jam 10 hari ini bukanlah waktu jam 10 hari kemarin. Hari Senin sekarang bukanlah pengulangan hari Senin pekan yang lalu. Waktu terus berjalan linier Ke depan. Manusia tidak bisa mengembalikannya dengan mesin waktu.
Waktu bagaikan pedang, jika kamu tidak memotongnya dialah yang akan memotongmu. Kata hikmah ini konon dinisbatkan pada Imam Syafii, meskipun banyak diragukan. Dalam peperangan, pedang memiliki kecepatan sabetan untuk memenggal musuh dan membunuhnya. Ketika kita tidak bisa memenggal musuh atau melumpuhkannya maka pedang musuh yang akan memenggal kita. Ketika kita tidak bisa memanfaatkan waktu maka kita akan tergilas oleh waktu.
Seperti sabetan pedang, waktu begitu cepat berlalu. Rasanya baru kemarin kita memasuki tahun 1990-an sekarang sudah 2020-an. Yang saat ini pensiun, seakan-akan masa pensiun itu hadir begitu saja sementara mulai bekerja rasanya baru kemarin. Demikian pula yang saat ini di bangku kuliah. Dulu membayangkan masa kuliah itu masih lama datangnya, ternyata begitu cepat datangnya.
Bulan Ramadan adalah miniatur kehidupan kita. Di awal Ramadhan terasa masih punya banyak waktu untuk mengkhatamkan Alquran beberapa kali. Di ujung Ramadhan, banyak orang merasa tidak cukup waktu untuk mengkhatamkan Alquran meskipun cuma sekali. Ternyata satu bulan begitu cepat berlalu.
Syeikh Yusuf Qardhawi dalam buku kecil beliau yang berjudul Al Waqtu fi Hayh al-Muslim, menjelaskan 3 penyakit manusia terkait waktu;
Pertama, mencela waktu ( sabbu az-zaman)
Mengambinghitamkan waktu atas kegagalan dan ketidakberuntungan merupakan tradisi orang musyrik jahiliyah. Namun manusia modern juga banyak yang belum bisa lepas dari keyakinan yang dibenci oleh Allah ini. Ada yang menyandarkan petaka kepada hari, bulan, dan tahun tertentu. Ada yang  menyalahkan saat dan hari atas suatu kesialan.
Kedua, lalai (ghaflah). Lalai itu berbeda dengan lupa. Lupa terjadi di luar kontrol dan kesadaran, sedangkan lalai  di dalam kesadaran. Orang yang tidak memakai helm ketika berkendaraan misalnya, ada yang  tidak ingat sama sekali (pikiran blank), maka itu namanya lupa. Tapi ada yang sadar kalau dia tidak pakai helm. Ia juga sadar kalau pakai helm itu wajib dan penting untuk menjaga keselamatan jika terjadi kecelakaan. Tetapi kesadarannya terkalahkan oleh nafsunya yang tidak mau ribet.
Banyak manusia mengetahui bahwa hidup di dunia ini sementara, di akherat selama-lamanya, namun perilakunya tidak mencerminkan pengetahuannya. Ia tahu bahwa waktu itu sangat berharga, tapi justru ia sering menyia-nyiakan waktu. Ia tahu bahwa kematian itu dekat, Â tetapi ia tidak menyiapkan diri untuk menghadapinya.
Ketiga, menunda beramal (taswif).
Menunda berbuat baik menjadi penyakit banyak orang. Kebaikan hanya berhenti pada angan-angan. "Ingin sih ingin, tapi nanti dulu ah", itu ungkapan yang sering keluar dari orang yang terjangkit penyakit taswif. Ada yang menunda beramal karena ingin hidup santai dan leha-leha. Ada yang menunda beramal karena merasa masih punya banyak waktu dan kesempatan. Ada pula yang menunda amal karena mencari kesempurnaan, seperti orang yang mau bersedakah tapi menunggu banyak dulu. Â
Islam mengajarkan jangan menunda amal dan pekerjaan yang bisa dilakukan saat ini. Jangan menunggu luangnya waktu untuk beramal. Jangan menunggu kaya untuk bersedekah. Jangan menunggu tua untuk bertaubat. Sesungguhnya ajal telah menunggu kita. Wallahu al-mustn.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H