Mohon tunggu...
abdul karim
abdul karim Mohon Tunggu... Dosen - Pemerhati Hukum dan Teknologi Informasi

Law and Technology for Better Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Indonesia dan Efektifitas Perjanjian Paris

26 Desember 2024   12:36 Diperbarui: 26 Desember 2024   12:20 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bulan Desember ini, tepat 9 tahun Perjanjian Paris untuk mengatasi perubahan iklim disekapati. Salah satu poin kesepakatan Perjanjian Paris adalah seluruh dunia harus membatasi kenaikan suhu rata-rata global di angka 1,5 derajat Celsius pada 2030. Emisi karbon global terus meningkat. Tahun lalu, jumlahnya mencapai 40,6 miliar ton, rekor yang diperkirakan akan terpecahkan pada akhir 2024.Tingkat karbon di atmosfer sekarang lebih dari 50 persen lebih tinggi dibandingkan dengan masa pra-industri. Oleh karena itu akan terjadi kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius.

Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi perjanjian Paris melalui Undang-undang nomor 16 tahun 2016, dituntut untuk dapat mencapai target batasan kenaikan suhu ini. Lembaga EDGAR (The Emissions Database for Global Atmospheric Research) menyatakan bahwa Indonesia menempati urutan ketujuh dari 11 negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia pada 2022, dibawah China, Amerika Serikat, UE27, Rusia, dan Brasil.

Indonesia juga menghadapi banyak tantangan dalam memenuhi target tersebut, salah satu tantangan itu adalah bagaimana pendanaan dan memastikan efisiensi dari proyek dan program yang dijalankan. COP29 atau konferensi perubahan Iklim PBB yang diadakan di Baku, Azerbaijan pada bulan November 2024 menghasilkan beberapa poin penting, salah satunya adalah Keputusan penting mengenai pendanaan, yaitu peningkatan pembiayaan tiga kali lipat bagi negara berkembang, dari target sebelumnya sebesar US$ 100 miliar per tahun, menjadi US$ 300 miliar per tahun hingga 2035 dan target pembiayaan bagi negara berkembang, baik sumber publik dan swasta, hingga sebesar US$ 1.3 triliun per tahun hingga tahun 2035.

Peningkatan pembiayaan ini menunjukkan bertambahnya perhatian dunia akan masalah lingkungan, sehingga alokasi dana juga semakin besar. Tetapi tentu saja besarnya pembiyaan ini juga menuntut untuk efisiensi dan realisasi aktual dari program-program yang dijalankan. Sejak meratifikasi perjanjian Paris di tahun 2016, Indonesia belum memiliki aturan dan sangsi hukum yang jelas untuk pihak-pihak yang melakukan aktifitas yang menyebabkan kenaikan suhu, walaupun Paris Agreement sendiri tidak mempunyai aturan yang ketat untuk penegakan hukum terhadap negara yang melanggar komitmen, tetapi ini tentu saja bukan alasan agar Indonesia tidak serius dalam program-program pencegahan kenaikan suhu, mengingat resiko yang dihadapi jika mengabaikan program tersebut. Menurut negara dapat mengalami penurunan Pendapatan Domestik (GDP) sebesar 10% per tahun akibat dari kenaikan suhu, yang antara lain disebabkan oleh bencana seperti banjir, kebakaran hutan dan menurunnya tingkat kesehatan Masyarakat. Selain itu negara mengalami masalah kredibilitas di dunia internasional yang bisa menghambat investasi dan kerjasama bisnis dan ekonomi baik dengan pemerintah ataupun pihak swasta negara lain.

Inisiatif Program Untuk Efektifitas Perjanjian Paris

Ada beberapa usulan inisiatif untuk implementasi secara aktual, antara lain

1, Pajak Karbon ( Tax Carbon). Pajak ini adalah salah satu bentuk pigouvian tax. Indonesia memiliki pajak karbon yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 202, tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Undang-undang ini menegaskan bahwa pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pajak ini juga bertujuan agar pengusaha mempertimbangkan untuk beralih ke bisnis yang ramah lingkungan, baik dengan menggunakan teknologi maupun merubah perilaku usaha. Setelah hanya sektor pembangkit Listrik Batubara yang dikenakan pajak karbon dari 2022 sampai 2024, maka pada tahun 2025, target pelaksanaan implementasi perdagangan karbon secara penuh terhadap semua sektor usaha berdasarkan kesiapan dari sektor-sektor usaha tersebut. Apabila implementasi pajak karbon telah dilakukan secara efektif dan efisien, maka pemerintah Indonesia dapat memperoleh potensi penerimaan pajak karbon dari sektor energi senilai Rp23,651 triliun di tahun 2025 atas pengenaan pajak karbon atau hanya sekitar 1.08% dari total perkiraan pendapatan negara dari pajak di tahun 2025 yang jumlahnya 2189.3 triliun rupiah.

2. Perilaku Hijau, yaitu perilaku Masyarakat yang mendukung kelestarian lingkungan. Beberapa organisasi sudah melakukan inisiatif agar karyawan dan Masyarakat umumnya memiliki perilaku yang ramah lingkunganm seperti membuang sampah pada tempatnya, mengurangi penggunaan kantong plastik, hemat Listrik dan bebrbagai kebiasaan lain yang berdampak positif terhadap lingkungan. Menurut data tahun 2022, tiap orang di Indonesia mengemisikan 2.28 ton karbon per orangnya, yang merupakan jumlah yang sangat besar karena Indonesia adalah negara dengan populasi penduduk yang sangat besar.

3. Penegakan Hukum Untuk Perusak Lingkungan

Data Mahkamah Agung menunjukkan bahwa hanya 76.9% saja kasus lingkungan hidup selama periode 2020-2023, yang tersangkanya diputus bersalah oleh Mahkamah Agung. Data ini menunjukkan masih ada celah penegakan hukum untuk perusak lingkungan. Sepanjang tahun 2023, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menangani 908 kejahatan lingkungan. PPATK juga menginformasikan meningkatnya dana hasil kejahatan lingkungan (Green Financial Crime), bahkan beberapa laporan menunjukkan adanya dana hasil kejahatan lingkungan itu ke anggota partai politik. Tidak maksimalnya penanganan kasus kejahatan lingkungan dan meningkatnya jumlah kejahatan lingkungan menunjukkan perlu ada inisiatif yang lebih serius untuk penegakan hukum bagi perusak lingkungan.

4. Pengukuran Karbon yang Akurat

Beberapa Lembaga menyoroti akurasi perhitungan emisi karbon di Indonesia. Perhitungan ini bahkan tidak mengikuti panduan Lembaga internasional terkait, seperti perhitungan emisi dari lahan gambut yang dikeringkan yang tidak mengikuti standar Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) PBB. Akurasi ini perlu karena Indonesia perlu mengetahui hasil perhitungan yang akurat untuk dapat melakukan perbaikan dan mitigasi. Kerjasama dan kolaborasi dengan pihak-pihak terkait sangat diperlukan untuk meningkatkan akurasi pengukuran ini, contohnya adalah perlu kerjasama antara pemerintah dan Lembaga-lembaga swasta nasional dan internasional dalam pengukuran dan pengembangan teknologi yang dapat meningkatkan akurasi pengukuran.

Keempat inisiatif di atas menurut penulis adalah Low-Hanging Fruit dalam meningkatkan efisiensi Indonesia untuk implementasi perjanjian Paris. Insiatif di atas pada dasarnya sudah dijalankan oleh Indonesia sehingga yang diperlukan selanjutnya adalah optimasi agar memberikan hasil yang lebih baik.

Penulis adalah pemerhati hukum Siber dan Lingkungan, Mahasiswa Universitas Siber Muhammadiyah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun