Mohon tunggu...
Abdu
Abdu Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Keperempuanan

laki-laki yang berasal dari cirebon, sebuah kota yang dijuluki dengan kota wali

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Busana Perempuan

16 Januari 2023   10:15 Diperbarui: 16 Januari 2023   10:46 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." QS Al Ahzab ayat 59,

Peremuan dalam ranah keislaman selalu ditopang dengan kitab suci dan sunnah rasul untuk menjalani kehidupannnya. Hal ini merupakan bentuk pemulian kepada perempuan agar perempuan seakan-akan menjadi ratu dalam sebuah kerajaan yakni dunia. Islam mengajarkan bahkan dalam bentuk perintah yang keras kepada para perempuan agar perempuan untuk menjadi perempuan yang mampu menjaga dirinya dengan cara menutup auratnya. Bukan, hal ini bukan hanya agar membedakan perempuan dengan perempuan lainnya, bukan hanya sebagai sebuah identitas yang kultus bagi agamanya. Perintah ini atau ajakan ini agar perempuan tak lagi menjadi pusat perhatian sehingga bisa saja banyak hal buruk menimpanya hanya karena masalah pakaian yang membuat para lawan jenis meemuncak nafsunya.

Inilah yang disebut dengan identitas syar'I bagi para perempuan muslim yang memang agama yang menganjurkan untuk memakai pakaian yang syar'i. Pakaian syar'I adalah pakaian yang menutup auratnya yang tanpa membentuk lekuk tubuhnya sehinggga seakan-akan tak memakai pakaian. Inilah beberapa catatan pakaian yang dianggap pakaian yang syar'i.

Pakaian syar'I yang kemuadian manjadikan sebuah idenetitas diri yang syar' ini menjadikan para perancang busana muslimah meningkat tajam. Mereka para perempuan yang begitu loyal dengan identitas syar'I ini kemudian membentuk sebuah Komunitas hijaber tumbuh di mana-mana seperti halnya sebuah jamur. Denga gerakan ini yang terkesasnTiba-tiba menjadikan hijab memenuhi ruang kehidupan sehari-hari para perempuan Muslim Indonesia. Identitas syar'I yang kemudain menjadi sebuah trend yang dulunya hanya kalangan orang-orang yang berada di lebaga Pendidikan islam mulai merambak ke semua kalangan baik artis ataupun para pejabat. Situasi ini terasa kontras dengan Indonesia hingga 1990an ketika pengguna jilbab masih belum terlalu masif, hanya terbatas pada institusi-institusi keagamaan seperti pesantren atau sekolah Islam.

Jilbab atau sebuah kain yang menutup kepala perempuan yang kemudian disebut dengan hijab baru-baru ini menjadi sebuah trend fashion yang banyak digandrungi oleh para perempuan. Kendatipun penggunaan hijab atau jilbab yang kebanyakan digunakan itu masih belum masuk dalam standarisasi syar'I dalam makna ajaran Islam. 

Walaupun demikian, hal ini perlu disambut dengan sikap baik karena masyrakat mempunyai gairah yang cukup meningkat untuk menutup mahkota keperempuanannya. Trend ini begitu cepak gerakannya ditandai dengan para pedagan jilbab dan baju panjang yang mulai menjamur.

Lalu, sekitar satu atau dua tahun kemudian tren jilbab bergerak lagi dengan ditambah embel-embel syar'i. Maka, jilbab dan pakaian syar'i pun menjadi tren berikutnya. Banyak ibu-ibu dari berbagai kalangan beralih pada tren ini.

Hingga kemudian trend ini dalam kurun waktu satu atau dua tahun mulai bergerak dengan embel-embel syari' baik dalam penjaulannya ataupun dalam pemakaiannya. Banyak orang-orang yang berpakaian yang terbuka mulai mengikuti trend ini.

Bagi kalangan pebisnis, trend ini mulai menjadikan peluang bisnis yang dianggap menjanjikan. Terlebih muali banyak public figure sepertu artis dan orang ternama yang beregama islam memakainya. Dan daya jual dari trend ini adalah memamakai kata syar'I karena kata syar'I dianggap menjadi sebuah kosa kata baru yang ampuh untuk menjual pakaian trendy ini.

Perubahan sosial yang demikian cepat itu tak lepas dari peran media internet dan televisi, tempat ideologi budaya pop dengan cepat menyebar.

Trend yang mulai yang mulai digandrungi ini yang merupakan sebuah perubahan social ini tak lepas dari peran media baik internet secara luas ataupun media kabar digital lainnya. Situasi ini didukung juga oleh kondisi politik dalam negeri ketika Perda Syariah menjamur di berbagai tempat sebagai ajang bargaining position para politisi dan pemimpin lokal saat itu.

Di beberapa kota dan kabupaten penggunaan jilbab pun menjadi kewajiban. Suasana ini didukung pula oleh pertarungan politik yang tajam menjelang Pilpres 2014 saat itu, ketika simbolisasi agama menjadi sangat penting.

Bahkan pada beberapa wilayah di indonesia, jilbab atau menutup aurat menjadi sebuah kewajiban yang tertuang pada perda wilayah tersebut. Seperti di daerah aceh sebuah wilayah yang dijuluki dengan serambi ka'bah.

Identitas "syar'i"

Identitas "syar'i" yang kemudian dilekatkan pada banyak aspek kehidupan masyarakat, mulai bank syariah yang mewabah, label untuk kompleks perumahan, penyebutan untuk toko dan sejumlah produk, hingga tentu saja pakaian. Tentu sangat menarik melihat kenyataan bahwa syar'i kemudian menjadi semacam gaya hidup. Akan tetapi alangkah bagusnya mereka pun tahu kata syar'I itu sendiri sehinga dalam melebelkan syar'I kepada sesuatu itu tak salah.

Namun, pada perkembangannya label "syar'i" menjadi tampak ekslusif, dalam arti bagi mereka yang tidak mengikuti standar "syar'i" dipandang menjadi tidak Islami. Persoalannya, siapa yang menentukan standar tersebut? Sementara, hal-hal yang disebut syar'i pun pada dasarnya bersifat ikhtilaf atau menjadi perdebatan di kalangan para ulama.

Fenomena pelebelan kata syar'I yang kemudian menjadi sebuah tren baru mulai melekat pula pada cadar.

Dari maraknya sebuah pakain yang menutup aurat ini melahirkan pemahaman baru kepada masyarakat. Bahwa sesuatu yang syar'I tak berarti kuno dan tidak fashionable. Sehingga mereka sadar bahwa memakai pakaian syar'I bisa saja tampil elegan dan tak ketinggalan zaman.

Walaupun demikian, hal ini tampak kontradiktif dengan semangat syar'i yang mengedepankan nilai-nilai kesederhanaan. Di sini lah, ideologi budaya pop tak bisa terhindarkan. Hal ini membuat fenomena cadar di Indonesia terlihat unik disbanding dengan negara yang lain. Meskipun cadar kerap dikaitkan dengan banyaknya batasan terhadap perempuan dalam mengkespresikan diri di ruang publik, toh di Indonesia mereka yang kemudian memilih bercadar secara fashionable tetap menunjukkan aksi-aksinya di ruang publik.

Wacana yang beragam

Di tengah perebutan wacana politik identitas yang mengental terkait label "syar'i dan tidak syar'i", saya menemukan adanya situasi yang khas terkait ekspresi keagamaan di Indonesia.

Masyarakat kita yang terbiasa berpikir homogen, dengan satu sudut pandang, dihadapkan pada banyak pilihan dan cara pandang, dengan semakin masifnya penggunaan media online. Bagaimanapun, ekspresi berpakaian selalu menyisakan ruang bagi ekspresi budaya yang khas.

Maka, bagi saya, gaya berpakaian syar'i perempuan Indonesia tetaplah unik. Tidak sepenuhnya mengopi cara berpakaian orang Arab. Hal itu misalnya tampak dari ekspresi sejumlah mahasiswi bercadar yang saya temui. Cadar yang kerap identik dengan ekslusivitas, bahkan dikaitkan dengan ideologi tertentu, dalam beberapa kasus, saya melihat mereka tak canggung dalam berinteraksi sosial, termasuk dalam berbicara dengan lawan jenis.

Bercadar memang soal pilihan bagi individu masing-masing, dan kita layak untuk menghargai sikap dan pilihannya. Namun, bercadar menjadi persoalan ketika memunculkan kekhawatiran situasi sosial tertentu. Atas dasar itulah barangkali alasan munculnya pembatasan penggunaan cadar di sejumlah institusi pendidikan Islam dan itu sahs-sah saja karena memang itulah aturan yang dipakai oleh kampus atau lembag Pendidikan islam, hal ini sama dengan Lembaga Pendidikan Kristen atau yang lainnya yang melarang penggunaan krudung bagi mahasiswa atau murid. Kalau toh merasa diskriminasi atau menyalahi hak individu, ya itu kamu yang salah karena memilih Lembaga itu untuk belajar.

Di luar persoalan-persoalan yang menyangkut kegelisahan sosial terkait meningkatnya tren perempuan bercadar yang dikaitkan dengan ideologi tertentu, saya lebih percaya pada sebuah proses belajar yang mereka lakukan berdasarkan pilihan sendiri tentunya, bukan hanya sekedar mengukuti trend "inlah yang salah". Ketimbang membatasi ruang gerak mereka, para perempuan bercadar itu akan mendapat kesempatan untuk belajar tentang keragaman cara pandang, dan tidak menempatkan diri mereka secara ekslusif.

Dibalik kekhasan dalam pemakaian cadar ataupun berbusana syar'I bagi para perempuan. Tentulah harus ada beberapa hal yang dijadikan sebuah pegangan terkait interaksi perempuan muslim dengan lawan jenisnya. Ataupun catatan terkait dalam berbusana bagi kalangan perempuan,

  • Menutup aurat secara penuh sesuai dengan syariat agama islam
  • Tidak tabarruj
  • Menjaga kontak pandangan dan fisik secara berlebihan
  • Mengedepankan sopan santun dalam interaksi langsung
  • Tidak terlalu mengekspos diri pada social media
  • Memakai Pakaian yang Berlebihan atau Boros
  • Dll

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun