Mohon tunggu...
Abdul Wahab Dai
Abdul Wahab Dai Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Jurnalisme Warga

Gemar membaca buku dan media sejak SD hingga kini.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Farida Soemargono: Peliharalah Kamus Prancis Pak Pierre Labrousse

23 Juni 2024   15:01 Diperbarui: 2 Juli 2024   18:30 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Jenni Barus

Abdul Wahab Dai
Pegiat Jurnalisme Kewargaan

FARIDA Soemargono, istri mendiang Pierre Labrousse --leksikografer atau penyusun kamus dwibahasa Kamus Indonesia-Prancis terbitan PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta-- berpesan agar kamus yang telah disusun oleh suaminya kiranya dipelihara.

"Peliharalah kamus ini. Dibutuhkan partisipasi Anda karena kamus ini terus dikembangkan. Generasi muda harus ikut memikirkannya," pinta Farida.

Pak Pierre --demikian Farida menyebut suaminya saat seminar daring Mengenang dan Mengenal Pierre Labrousse kemarin petang, Sabtu, 22 Juni 2024--. Pierre dipanggil oleh Yang Kuasa 15 Maret 2024 silam di Hopital Charles Foix Ivry sur Seine, Prancis.

Sedaring (seminar daring) melalui temu virtual Zoom ini digelar oleh Alliance Francaise (AF) Medan, AF Semarang, dan AF Makassar. AF adalah Pusat Bahasa dan Kebudayaan Prancis yang tersebar di berbagai kota di seluruh dunia.

Bekerja sama dengan suaminya, Farida Soemargono sendiri telah menyusun kamus Prancis-Indonesia bersama dengan Winarsih Arifin menjadikan dwikamus ini sepasang kamus "dwitunggal".

Kedua mahakarya ini juga diterbitkan Gramedia. Kamus dwibahasa Prancis-Indonesia ini adalah kebalikan dari "Kamus Merah" Labrousse (yang bersampul merah). Labrousse menyusun Kamus Indonesia-Prancis, sedang istrinya menyusun Kamus Prancis-Indonesia.

Ditanya oleh peserta sedaring perihal kesulitan dan tantangan yang dihadapi saat penyusunan dwikamus ini, Farida --yang dalam seminar ini menulis nama akun Zoom-nya sebagai Farida Labrousse-- menyebut adanya perbedaan budaya dan pola pikir serta sikap pandang antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat Prancis.

"Ini tidak mudah diatasi. Namun kami mencari jalan dengan menerangkan makna setiap kata walau ini agak berat," demikian Farida menjelaskan.

Saya menyaksikan sendiri isi kamus ini pada masa-masa kuliah 1995-2001 di Jurusan Sastra Barat Roman Unhas Makassar dan tempo setelahnya. Walau bukan sebuah kamus bergambar, beberapa kata Indonesia yang sulit dipahami oleh orang Prancis bahkan disertai gambar agar lebih akurat. Misalnya untuk kata "bersila", maka disertakanlah gambar seseorang yang sedang bersila. Kamus ini disertai muatan-muatan kultural sebagaimana disebutkan oleh salah seorang peserta sedaring.

Salah seorang peserta sedaring lainnya yang bernama Herminingsih, guru bahasa Prancis MAN 2 Palu di Sulawesi Tengah menyebut dirinya konsisten menggunakan kamus ini di tengah gempuran kamus-kamus digital. "Saya senantiasa memotivasi siswa-siswa saya agar menggunakan kamus dalam bentuk buku tinimbang kamus digital," tutur Hermingsih, angkatan 1994 di Jurusan Sastra Barat Roman Unhas yang kini menjadi guru mata pelajaran Bahasa Prancis di MAN 2 Palu di bawah naungan Kemenag RI sebagai ASN.

Farida bercerita kala mana dirinya berada di Bandung bertugas sebagai dosen bahasa dan budaya Prancis di Universitas Padjajaran (Unpad) tahun 1965-1972 dan menemukan ketiadaan kamus sebagai alat yang dibutuhkan oleh para peminat bahasa Prancis.

Menyinggung soal kamus-kamus daring dan aplikasi penerjemahan, Farida mengatakan bahwa alat-alat penerjemahan moderen dominan hanya menerjemahkan kata saja. "Mesin penerjemah bukanlah otak manusia yang mampu menerjemahkan kalimat sesuai kondisi dan konteks yang dibutuhkan." Jadi kita, katanya lagi, tidak bisa terlalu mempercayai terjemahan daring (online).

"Kamus-kamus kami ditulis dengan contoh penggunaan kalimat dan dilengkapi dengan penjelasan-penjelasan," demikian Farida yang menyebut dirinya bertemu dengan Pak Pierre (yang belakangan menjadi suaminya) di Jatilihur dalam perjalanan menuju Unpad di Bandung kala itu.

Farida bercerita bagaimana Pak Pierre merintis penyusunan sebuah kamus dasar dengan hanya 5.000-an kata dan diterbitkan oleh Ananta --sebuah penertbit--.Selanjutnya kamus ini dikembangkan menjadi 8.000-an kata dan diterbitkan oleh Pustaka Jaya.

Menanggapi pertanyaan peserta lain Farida menegaskan bahwa penyusunan kamus tidak lah dipengaruhi oleh suasana perpolitikan kala itu. 

Dalam sedaring ini terungkap bahwa Farida pernah mengajar di Perguruan Tinggi Bahasa dan Budaya Timur (Inalco) di Paris. Saat itu para mahasiswa mempelajari salah satu bahasa Timur yaitu bahasa Jawa. "Ada yang bertanya bahwa mengapa bahasa Jawa yang dipilih. Ya, kala itu pemerintahan Orde Baru oleh Pak Harto dianggap sebagai Raja Jawa. Di Inalco diajarkan bahasa Jawa, bukan bahasa lokal lainnya."

Sedaring yang diinisiasi oleh AF Semarang ini diawali dan dibuka oleh Riza Harani Bangun dari AF Medan. Selain ditampilkan video singkat pemakaman Pierre Labrousse, juga ditampilkan kisah perjalanan hidupnya dari tahun 1939-2024.

Disebutkan bahwa Pierre Labrousse lahir di Limoges, 22 Agustus 1939 dan belajar di Fakultas Sastra dan Ilmu Sosial  di Universite de Limoges. Pernah pula bertugas mengajar di La Reunion.

Pierre selanjutnya mengajar mahasiswa di Fakultas Sastra Unpad. Kembali ke Prancis Pierre menjadi Kepala Program Studi Indonesia di Inalco tempat dirinya bersama Farida mengajar dan menyusun buku pelajaran bahasa Indonesia.

Sedaring ini diikuti oleh 90-an pesera dari berbagai kalangan seperti guru, pengajar, dosen, dan mahasiswa bahasa Prancis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun