Salah seorang peserta sedaring lainnya yang bernama Herminingsih, guru bahasa Prancis MAN 2 Palu di Sulawesi Tengah menyebut dirinya konsisten menggunakan kamus ini di tengah gempuran kamus-kamus digital. "Saya senantiasa memotivasi siswa-siswa saya agar menggunakan kamus dalam bentuk buku tinimbang kamus digital," tutur Hermingsih, angkatan 1994 di Jurusan Sastra Barat Roman Unhas yang kini menjadi guru mata pelajaran Bahasa Prancis di MAN 2 Palu di bawah naungan Kemenag RI sebagai ASN.
Farida bercerita kala mana dirinya berada di Bandung bertugas sebagai dosen bahasa dan budaya Prancis di Universitas Padjajaran (Unpad) tahun 1965-1972 dan menemukan ketiadaan kamus sebagai alat yang dibutuhkan oleh para peminat bahasa Prancis.
Menyinggung soal kamus-kamus daring dan aplikasi penerjemahan, Farida mengatakan bahwa alat-alat penerjemahan moderen dominan hanya menerjemahkan kata saja. "Mesin penerjemah bukanlah otak manusia yang mampu menerjemahkan kalimat sesuai kondisi dan konteks yang dibutuhkan." Jadi kita, katanya lagi, tidak bisa terlalu mempercayai terjemahan daring (online).
"Kamus-kamus kami ditulis dengan contoh penggunaan kalimat dan dilengkapi dengan penjelasan-penjelasan," demikian Farida yang menyebut dirinya bertemu dengan Pak Pierre (yang belakangan menjadi suaminya) di Jatilihur dalam perjalanan menuju Unpad di Bandung kala itu.
Farida bercerita bagaimana Pak Pierre merintis penyusunan sebuah kamus dasar dengan hanya 5.000-an kata dan diterbitkan oleh Ananta --sebuah penertbit--.Selanjutnya kamus ini dikembangkan menjadi 8.000-an kata dan diterbitkan oleh Pustaka Jaya.
Menanggapi pertanyaan peserta lain Farida menegaskan bahwa penyusunan kamus tidak lah dipengaruhi oleh suasana perpolitikan kala itu.Â
Dalam sedaring ini terungkap bahwa Farida pernah mengajar di Perguruan Tinggi Bahasa dan Budaya Timur (Inalco) di Paris. Saat itu para mahasiswa mempelajari salah satu bahasa Timur yaitu bahasa Jawa. "Ada yang bertanya bahwa mengapa bahasa Jawa yang dipilih. Ya, kala itu pemerintahan Orde Baru oleh Pak Harto dianggap sebagai Raja Jawa. Di Inalco diajarkan bahasa Jawa, bukan bahasa lokal lainnya."
Sedaring yang diinisiasi oleh AF Semarang ini diawali dan dibuka oleh Riza Harani Bangun dari AF Medan. Selain ditampilkan video singkat pemakaman Pierre Labrousse, juga ditampilkan kisah perjalanan hidupnya dari tahun 1939-2024.
Disebutkan bahwa Pierre Labrousse lahir di Limoges, 22 Agustus 1939 dan belajar di Fakultas Sastra dan Ilmu Sosial  di Universite de Limoges. Pernah pula bertugas mengajar di La Reunion.
Pierre selanjutnya mengajar mahasiswa di Fakultas Sastra Unpad. Kembali ke Prancis Pierre menjadi Kepala Program Studi Indonesia di Inalco tempat dirinya bersama Farida mengajar dan menyusun buku pelajaran bahasa Indonesia.
Sedaring ini diikuti oleh 90-an pesera dari berbagai kalangan seperti guru, pengajar, dosen, dan mahasiswa bahasa Prancis.