"Banyak yang mau membuka malam kuliner, tapi mereka biasanya terlalu fokus pada keuntungan," kilah Muslimin.
Muslimin menyebut Rp50.000,00 sebagai harga yang dibayar oleh setiap gerai sangat lah murah. Rerata jumlah gerai yang menyediakan serbaneka gastronomi saban pekan adalah 30 gerai, padahal jumlah yang terdaftar sekira 60-an, jelas Muslimin.
Jadi Panitia mengelola Rp1,5 jutaan per pekan dan ini biasanya dibagi habis sebagai operasional. Selain sebagai fasilitator, panitia SCS juga berfungsi sebagai motivator bagi UMKM yang bergerak di bidang gastronomi.
"Kami sedang mengurus sebuah akta di salah satu dinas kabupaten, sebab kegiatan ini sangat berkontribusi dalam menggerakkan ekonomi kreatif masyarakat Pitumpanua," kata Muslimin yang juga salah seorang pedagang ritel pakaian jadi di Pasar Sentral Siwa ini.
Lalu siapa yang membayar para biduan dan biduanita? Di sinilah simbiosis mutualisme terjadi! Mayoritas penyanyi yang tampil di panggung adalah pengunjung sendiri!
Banyak bakat tersembunyi di Siwa dan di desa-desa di Wajo, Sidrap, dan Luwu. Mereka pun menjajal olah vokal mereka di panggung SCS. Jika beruntung, suara yang menawan akan diganjar saweran oleh pengunjung lain. Namun kelompok penyedia audio dan pelantang suara tetap menyiapkan penyanyi internal mereka.
Persoalan kebersihan adalah persoalan pokok pada sebuah malam kuliner. Tentu Panitia mengeluarkan harga untuk memastikan pelataran Pasar resik kembali sebelum fajar Ahad menyingsing, sebab Minggu (dan Rabu) adalah hari pasaran Pasar Siwa.
"Kami hanya berkegiatan sekali sepekan untuk menghindari kejenuhan," Muslimin berkilah ketika ditanya mengapa SCS tidak dilaksanakan setiap malam saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H