Hidup Murad benar-benar patah dengan aksinya "menerima komisi" dengan begitu mudah menandatangani pengajuan dokumen perizinan akibat Haji Hamid dan Hilma dan situasi yang akhirnya benar-benar mendukung "aksi main tilep" ini.
Cintanya dengan Hilma di ujung tanduk dengan hadirnya Nadia sepupunya yang menarik perhatiannya dan mampu memahami prinsip anti-korupsinya.
Tokoh Nadia digambarkan bertolak belakang dengan tokoh Hilma yang justru mendorong Murad lebih "luwes", sebuah diksi eufemisme dari "korupsi" atawa "mencuri".
Tokoh Aku pun mencuri (baca: korupsi). Hal yang dipertahankannya dengan sekuat tenaga akhirnya bobol.
Novel diawali dengan cerita Murad yang harus sering terlambat masuk kantor gegara harus menunggu bus kota yang kerap penuh dan pengap.
Kehidupannya berbanding terbalik dengan Haji Hamid yang naik mobil pribadi hasil korupsi.
****
Tahar Ben Jelloun menulis novel ini di Paris. Sebagaimana pada halaman akhir tertulis: Paris/Bibon, Februari-Oktober 1993.
Paris atau Prancis secara keseluruhan memang kerap dijuluki "terre d'asile" atau negeri pengasingan oleh mereka yang tertindas di negerinya.
Novel ini berlatar negara Maroko, sebuah negeri muslim. Gambaran jelas tentang Maroko pernah saya baca dalam buku Profil Negara-Negara Timur Tengah.
Novel ini menambah wawasan saya tentang Maroko yang beribukota di Casablanca.