Oleh karena sejak kemarin dan hari ini ramai betul nama saya disebut dalam berita soal petisi dosen dan mogok mengajar dosen di beberapa media, maka perkenankanlah saya menyampaikan tanya jawab saya dengan Mang Rawing, kawan imajiner saya beberapa waktu lalu. Mang Rawing: Bah, kenapa sih bikin petisi segala? Abah: Awalnya ada keprihatinan luar biasa dari para dosen yang tergabung dalam Grup Dosen Indonesia berkaitan dengan didiskriminasikannya dosen di bawah kemdikbud dalam mendapatkan tunjangan kinerja dalam Perpres 88 2013. Kenapa diskriminasi? Karena dari semua kementerian/lembaga pusat yang sudah berhak mendapatkan tunjangan kinerja, hanya dosen kemdikbud yang dikecualikan. Dosen-dosen di departemen lain, tetap mendapatkan tunjangan kinerja. Sebagai contoh baca deh tulisan ini soal dosen di BPS. Mang Rawing : Kok dosen aja bah, kenapa nggak guru juga? Abah : Nah ini dia, mesti jelas duduk persoalannya. Dosen adalah pegawai pusat, Kemdikbud sementara Guru dibawah Pemerintah daerah. Di beberapa Pemda seperti DKI Jakarta, guru bahkan sudah mendapatkan Tunjangan Kinerja dalam bentuk Tunjangan Kinerja Daerah di luar tunjangan sertifikasi guru. Mang Rawing: Lho, kan dosen juga sudah mendapatkan tunjangan profesi alias sertifikasi dosen? Abah: Ada beberapa perbedaan penting dalam tunjangan kinerja dan tunjangan profesi dosen. Pertama, tunjangan kinerja melekat kepada status sebagai PNS bahkan sejak CPNS, tanpa proses seleksi lagi. Sementara untuk mendapatkan tunjangan profesi, dosen mesti ikut sertifikasi melalui proses yang rumit dan antrian yang panjang. Menurut rilis ADI (Asosiasi Dosen Indonesia) tahun 2013, baru 47% dosen yang bersertifikat, artinya 53% dosen belum mendapatkan tunjangan profesi, padahal sebagian mereka sudah amat senior. Kedua, besaran tunjangan kinerja bervariasi menurut kelas jabatan, sementara tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok saja. Ini tidak mendorong dosen meningkatkan kualitas dan karirnya. Ketiga, Tunjangan kinerja tetap dibayarkan sebesar 75% walaupun sedang melakukan tugas belajar, sementara tunjangan profesi dihentikan ketika dosen melakukan tugas belajar. Ini tidak mendorong dosen-dosen untuk melaksanakan studi lanjut. Padahal pemerintah mengklaim mendorong para dosen untuk bersekolah doktor, katanya biar World Class University. Kalau begini mah jadinya Word Class University. Mang Rawing: Tapi berarti serakah dong kalau dosen mendapatkan tunjangan kinerja dan tunjangan profesi sekaligus? Abah : Tidak. Kami paham bahwa karena keduanya mengukur kinerja tentu saja tidak dibayarkan kedua-duanya. Bagi dosen yang belum mendapatkan tunjangan profesi, dia mendapatkan tunjangan kinerja penuh. Bagi dosen yang sedang tugas belajar dan tunjangan profesinya dihentikan, dia akan mendapatkan tunjangan kinerja sebesar 75%.Nah bagi dosen yang sudah mendapatkan tunjangan profesi, dia akan mendapatkan selisih saja antara tunjangan kinerja dan tunjangan profesi, atau mendapatkan yang paling besar diantara keduanya. Dengan mekanisme ini tidak akan ada pembengkakan anggaran sebagaimana dikhawatirkan dan tuduhan serakah adalah pitnah Mang Rawing: Kok pitnah? Abah: Soalnya saya orang sunda, gak bisa ngomong F #hadeuhsalahfokus Mang Rawing : Kembali ke laptop, tapi nanti dosen akan terkungkung karena mesti absen finger print, masuk jam 7.30 dan keluar jam 15.30? Abah : Kayak tukul aja nih Mang Rawing. Ini teknis penilaian saja. Karena tugas dosen berbeda dengan PNS lain, yaitu pelaksanaan tridharma: pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Maka ukuran penilaiannya juga mestinya mengacu kepada pemenuhan tridharma tersebut. proses penilaian, evaluasi, termasuk reward and punishment mestinya mengacu kesana. Oh ya di banyak kampus absen fingerprint ini sudah diberlakukan kok, bahkan kepada dosen. Yang benar memang ada kewajiban bekerja yang ekuivalen dengan 8 jam bekerja. Dalam delapan jam ini ada aktivitas mengajar, meneliti dan melakukan pengabdian pada masyarakat. Jika ini hendak diimplementasikan ada dua hal yang mesti dilakukan pemerintah dan petinggi PTN: Pertama, penyediaan ruang kerja memadai bagi dosen. Masih banyak dosen yang sulit bekerja di kampus karena tidak ada ruangan kerja, bahkan meja kerja. Sehingga banyak yang terpaksa bekerja: mempersiapkan bahan ajar, mengoreksi ujian bahkan bimbingan di luar kampus. Harus ada standardisasi, minimal dosen ada meja kerja, lemari buku, dan akses internet. Kedua, mekanisme penilaian harus menyesuaikan nature kerja dosen tadi. Misalnya, siapkan saja berbagai form yang membuat dosen-dosen bisa bekerja sesuai nature-nya seperti penelitian atau mengisi seminar tapi izin dan melaporkan ke atasan langsung di kampus. Simple kan? Mang Rawing: Oh begitu ya Bah, ada nggak jalan tengah dari persoalan ini? Abah : Ada, jika Kemdikbud tidak mengabulkan petisi ini. Ada beberapa hal yang musti jadi catatan dan dilaksanakan. Pertama, Sertifikasi Dosen melekat kepada semua dosen tanpa kecuali asal memenuhi UU Guru dan Dosen. Kedua, Besaran tunjangan profesi dosen tidak lagi sebesar satu kali gaji pokok, tapi sesuai kelas jabatan dosen yang sesuai dengan jabatan fungsionalnya. Ketiga, tunjangan profesi tetap dibayarkan walaupun dosen sedang melaksanakan tugas belajar. Ini jalan tengahnya. Mang Rawing : Oh begitu ya bah, lantas apa resikonya jika Kemdikbud tidak peduli? Abah : Percayalah, akan semakin sedikit anak-anak terbaik yang tertarik menjadi dosen. Kata kawan saya si Rambo, If you pay peanuts, you get monkeys. Motivasi dosen untuk bekerja dengan baik, mengejar gelar doktor, melakukan publikasi ilmiah internasional sudah pasti akan melemah. Seorang pembaca setia blog saya bahkan sudah berhenti menjadi dosen dan memilih bekerja di perusahaan swasta. Jangan salahkan misalnya jika banyak yang akan seperti itu atau memilih menjadi dosen di luar negeri, seperti di Malaysia. Berarti pemerintahlah yang sebetulnya menginginkan dunia pendidikan tinggi Indonesia tidak berkembang. Mang Rawing : Wah berarti dosen-dosen Indonesia sudah tidak berpikir pengabdian, tapi mata duitan? Abah: Cape deeeeh, berarti Mang rawing belum baca tulisan saya: Pengabdian VS Kesejahteraan. Inilah, istilah pengabdian sudah dimanipulasi oleh penguasa untuk menindas profesi tertentu. Mang Rawing : Berarti ini perjuangan dosen PNS kemdikbud doang bah, bagaimana nasib yang swasta? Abah : Tidak juga Mang, petisi kita selain mendesak revisi Perpres 88 2013 soal tunjangan kinerja, juga mendesak revisi Perpres 65 tahun 2007 soal tunjangan fungsional dosen yang sudah 6 tahun tak dinaikkan. Jika ini berhasil, kawan-kawan dosen dengan berbagai bentuk: Dosen PTN, PTS, PT Depag, PT kementerian lain akan ikut berbahagia. Jangan lupa dalam UU Guru dan Dosen dinyatakan bahwa pemerintah mensubsidi PTS untuk membayarkan tunjangan fungsional. Mang Rawing : Terakhir bah, terus jadi mogoknya? Abah : He he, iya mau mogok mengajar di kala liburan semesteran Mang. Ini mah pinter-pinternya kawan yang bikin rilis memlih diksi biar didengar sama pembuat kebijakan, istilahnya Pak Janner mah “peluru tajam”. Soalnya kalo gak pake kata mogok nggak didengar sama bos-bos diatas, media juga nggak mau muat. Mang Rawing: Wah jelas sekarang bah, I cannot agree you more. sekarang Mang Rawing mau ikut tandatangan petisi deh, disini ya bah? https://www.change.org/id/petisi/presiden-ri-petisi-mendesak-revisi-perpres-88-tahun-2013-dan-perpres-65-tahun-2007 Abah : Betul, haturnuhun ya Mang rawing, saya mau balik ngerjain paper ada deadline, hiks. Catatan: Tulisan ini dimuat juga di : http://abdul-hamid.com/2014/01/08/kenapa-dosen-menggulirkan-petisi/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H