Alhamdulillah, tulisan saya sudah dimuat di dua jurnal internasional, yang pertama adalah: Abdul Hamid and Gabriel Facal, « Nationalism, Islam, and Political Influence. The Ethics of the Enterprises in Banten (Indonesia) », Moussons, 21 | 2013, 51-63.di dan satu lagi, Jokowi’s Populism in the 2012 Jakarta Gubernatorial Election terbit di Journal Of Current Southeast Asian Affairs, 33(1), 85-109.
Satu buah tulisan lagi akan terbit di Asian Politics dan Policy, semoga bulan Oktober besok.
Tahun lalu saya juga melakukan tiga presentasi internasional di: International Symposium Socio-Political and Economic Reform In Southeast Asia: Assesments And The Way Forward. Pusat Penelitian Politik LIPI and CSEAS Kyoto University. Jakarta, March 9-12 2013; The 3rd KASEAS-CSEAS Joint International Symposium, Mokpo National University South Korea, May 9-12 2013; dan di International Convention of Asian Scholar (ICAS) 8. Macau, April 24-27 2013.
Jadi di tahun ketiga ini, saya fokus melakukan penulisan naskah disertasi berdasarkan dua kali turun lapangan di Indonesia.
Saya percaya bahwa teman-teman penerima beasiswa Dikti di seluruh dunia juga sedang bekerja keras melakukan tugas belajarnya. Ya, kami memang sedang bertugas, bukan sedang plesiran. Tentu saja kalau ada yang sibuk plesiran dan malah tidak belajar, apalagi pulang tanpa gelar, saya pikir sanksinya sudah jelas, tinggal ditegakkan saja.
Kenyataannya, di tengah studi, keterlambatan beasiswa ini menyita waktu dan melelahkan. Kami sudah amat piawai berhemat, mengurangi makan nasi (nasi di Jepun mahal, tapi mengurangi nasi sehat toh) dan hafal jam-jam dan tempat tertentu dimana makanan murah dan masih baik dijual. tapi terus terang saya tetap sedih ketika ada kabar banyak kawan belum menerima haknya berbulan-bulan, sampai harus menyibukkan diri bekerja untuk sekedar bertahan hidup. Atau kawan lain tidak bisa membeli perlengkapan bayi padahal sudah mau melahirkan. Ini luar negeri, man, gak ada kakek, nenek, uwa, bibi, atau sanak saudara yang bisa membantu. Sudahlah, ini sudah diceritakan di banyak media.
Saya yakin jika pengelolaan beasiswa Dikti menjadi semakin baik dan penyaluran tidak terlambat, maka karyasiswa akan semakin semangat belajar dan penuh konsentrasi. Lebih dahsyat lagi jika Dikti menggunakan standar seperti halnya LPDP (ada tunjangan keluarga) atau setidaknya tidak melarang Dosen melamar LPDP, toh sama-sama uang negara.
Saya bayangkan bahwa yang kemudian menjadi bahan diskusi adalah prestasi-prestasi akademik dan riset-riset yang bermutu, bukan melulu persoalan administrasi dan penderitaan. Bosen.
Saya sadar bahwa program beasiswa luar negeri Dikti ini terobosan yang baik untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas Dosen berkualifikasi Doktor. Kita sudah amat ketinggalan, bahkan dari tetangga kita, Malaysia. Coba bayangkan, dengan program ini dicetak ribuan dosen berkualifikasi doktor lulusan luar negeri yang siap mengajar dan membimbing mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di seluruh tanah air. Jika iklim dan fasilitas akademik di tanah air baik, berapa banyak riset-riset berkualitas yang akan mereka hasilkan. Semuanya tentu saja untuk Indonesia.
Sekali lagi, maka program beasiswa luar negeri ini adalah sesuatu yang penting. Tentu saja hasilnya akan jauh lebih baik jika program ini dikelola dengan profesional. Jika sulit dilkelola dengan mekanisme selama ini, ada baiknya kita mendukung ide Pak Direktur Ketenagaan dalam pernyataannya:
"...Ternyata memang tidak mudah menyalurkan beasiswa luar negeri melalui satker biasa. Diusulkan agar pengelolaan beasiswa ditangani oleh badan independen, bisa BLU seperti LPDP atau semacam “Indonesian Aid”, sehingga seluruh rangkaian pencairan berada di bawah satu atap dengan mekanisme pencairan yang lebih sederhana.".
Sudah saatnya Dikti dan Karyasiswa duduk bersama minum es teh manis dan gorengan, bicara secara terbuka dengan nada positif dan tanpa prasangka. Saya yakin, hati menjadi lega dan semua kepala menjadi tegak.