Mohon tunggu...
Abdu Alifah
Abdu Alifah Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan

Seorang manusia biasa yang secara kebetulan dianugerahi hobi membaca!

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

"Of Mice and Men": Kisah Kehidupan Para Buruh yang Malang dan Mimpi Sederhana Mereka

16 September 2019   17:24 Diperbarui: 16 April 2021   13:05 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku novel 'Of Mine and Mice' karya John Steinbeck (Dok. pribadi)

 


Ini adalah salah satu karya John Steinbeck yang saya baca. Dan seperti tulisannya yang lain, sebut saja 'The Grapes of Wrath' atau 'In Dubious Battle', pada novel 'Of Mice and Man' yang diterjemahkan oleh Aryantri E. Tarman menjadi 'Tikus dan Manusia' ini, John Steineck masih menulis soal kehidupan para buruh. 

Memang tidak semata-mata semua tulisannya terpaku pada dunia perburuhan, itu hanya salah satu. Tapi sejauh ini, barangkali juga kebetulan, yang saya baca semuanya adalah tentang buruh.

Berbicara mengenai dunia perburuhan dalam sastra, sebenarnya ada banyak penulis besar di dunia ini yang menulis tentang dunia perburuhan. Tarulah Maxim Gorky (Ibunda atau Matb dan Pemogokan atau Tales of Italy), Charles Dicken (Oliver Twist), Emile Zola (Germinal), dan yang paling terkenal adalah cerita pendek berjudul 'Matinya Seorang Buruh Kecil' karya Anton Cekov, serta beberapa penulis lainnya. 

Kebanyakan, mereka menulis tentang kehidupan buruh yang malang, dieksploitasi oleh sistem yang mencekik dan jahat, serta keharusan untuk melawan, revolusi, dan mungkin sepaket dengan ketidakberdayaannya.

Namun, meski sama-sama menuliskan soal perburuhan, bagi saya, John Steinbeck tetaplah sesuatu yang lain. Maksdunya begini, John Steinbeck itu, di samping berprofesi sebagai penulis, juga sebenarnya adalah seorang buruh. Atau, mungkin lebih tepatnya ia menulis di sela-sela pekerjaannya sebagai buruh. 

Sejak sekolah menengah, John Steinbeck sudah bekerja di berbagai perkebunan dan peternakan hingga ia kuliah di Universitas Stanford dan tidak pernah benar-benar berhasil menamatkan pendidikannya itu. 

Bahkan, pernah pula ia bekerja sebagai buruh ditempat konstruksi bangunan saat di New York, lalu pulang ke California dan menjadi penjaga perkebunan pribadi milik seorang burjuis di Lake Tahoe, Emerald Bay. Di sinilah John Steinbeck kemudian menulis karya-karyanya yang fenomenal itu.

Maka sebenarnya tidaklah heran, pengalaman hidupnya menjadi buruh ini kemudian banyak mempengaruhi tulisan-tulisannya. Saya membaca tulisan-tulisan John Steinbeck sebagai suatu karya yang otentik, alamiah, dan apa-adanya.

Tulisannya, sekalipun fiksi, berbicara tentang kehidupan buruh tanpa perlu dibuat-buat dan diada-ada. Ia ditulis berdasarkan apa yang dialami, mengalir begitu saja, terasa amat alamiah. Itulah sebabnya, gaya tulisan John Steinbeck, dalam sastra, disebut sebagai tulisan-tulisan naturalistik.

Sebagai pengawalan, saya akan sertakan salah satu kutipan terbaik dalam 'Of Mice and Men' karya John Steinbeck, "Orang-orang seperti kita, yang bekerja di peternakan, adalah orang-orang yang paling kesepian di dunia. Mereka tidak punya keluarga. Mereka tidak cocok di tempat manapun. Mereka datang kepeternakan dan bekerja keras lalu pergi ke kota dan menghamburkan hasil kerja keras mereka, lalu setelahnya mereka banting tulang lagi di peternakan lain. Mereka tidak punya cita-cita." (hal. 23). Bagus, kan?

'Of Mice and Men' berkisah tentang persahabatan yang aneh dan tak lazim antara dua orang buruh migran, George Milton dan Lennie Small. George bertubuh kecil, berwajah muram, namun pria yang cukup cerdas dan berhati-hati. Sementara, Lennie bertubuh besar, namun pikirannya seperti anak kecil yang lugu dan bodoh. 

Salah satu contoh keluguan Lennie, misalnya, ia selalu ingin mengelus-elus tikus karena menurutnya enak dan lembut. Tetapi karena Lennie memiliki tangan yang sangat besar dan kuat,maka tikus itu selalu mati, terbunuh oleh Lennie yang, saking lugunya, sama sekali tidak merasa bersalah. 

George selalu memarahi polah tingkah Lennie yang tolol itu. Tetapi berapa kali pun George memarahinya, Lennie tidak pernah benar-benar kapok, atau tak pernah benar-benar bisa mengerti sebab ia sungguh-sungguh bodoh, atau barangkali tepatnya memiliki keterbelakangan mental (mental disability).

George dan Lennie bersahabat sejak kecil, dan sudah seperti keluarga bagi satu sama lain,mereka saling membantu dan saling menjaga di tengah kehidupan berat sebagai buruh migran yang berpindah dari satu peternakan ke peternakan yang lain. 

Maka bagaimanapun tolol dan membikin kesalnya si Lennie ini, George tidak pernah benar-benar marah dan tak sampai hati tega untuk meninggalkannya. Dalam pembacaan saya, George benar-benar menyayangi Lennie sudah seperti adik kandungnya sendiri. Dan Lennie, sebenarnya seperti adik yang selalu mencoba untuk mematuhi semua kata-kata George layaknya seorang kakak.

Ada satu episode yang membuat saya tersentuh dari persahabatan antara George dan Lennie. Saat George marah besar atas ketololan polah Lennie yang selalu menyeretnya pada berbagai masalah, George akan mengatakan dengan kesal bahwa hidupnya barangkali akan lebih berbahagia tanpanya, dan jika sudah begitu, Lennie hanya akan merajuk dengan lucu seperti bocah, "George, kau mau aku pergi dan membiarkan kau sendirian? Kalau kau tidak mau aku denganmu, aku bisa pergi ke bukit dan cari gua." 

Saya sempat terpingkal, pergi ke gua? Ya ampun, bagaimana bisa lelaki dewasa dengan tubuh super besar berpikir setolol itu? Lugunya si Lennie ini! Lalu seperti biasa, George akan langsung meminta maaf dan segera melipur Lennie yang tengah bersedih itu. Tetapi, Lennie tidak begitu saja memaafkannya, ia biasanya akan minta cerita, cerita tentang mimpi mereka di masa depan, tentang sebuah kehidupan buruh yang berbahagia.

Pada titik inilah rasanya seluruh perasaan saya berderis, terhanyut pada apa yang selanjutnya diceritakan oleh George kepada Lennie. George akan memulai ceritanya dengan gambaran malang para buruh seperti yang cantumkan di atas (hal.23). Lalu mengatakan kepada Lennie bahwa mereka tidak akan bernasib seperti itu, mereka punya masa depan.

Mereka punya orang yang peduli pada mereka, "sebab.. sebab ada kau yang bantu aku dan kau punya aku buat membantumu," (Lennie menyela George. Hal. 24). George lalu melanjutkan ceritanya tentang mimpi mereka di masa depan.

George dan Lennie memiliki mimpi yang sederhana saja, mereka hanya ingin punya rumah kecil dan beberapa hektar tanah, beberapa hewan peliharaan seperti sapi dan babi, serta punya kebun sayur sendiri. Oh ya, juga Lennie ingin sekali punya kelinci untuk dielus-elus dan dipelihara. 

"Dan saat hujan turun di musim dingin, kita akan bilang persetan dengan kerja, dan kita akan buat api di perapian dan duduk di dekatnya dan mendengarkan hujan turun di atap- Gila!". Lihat, cita-cita mereka sebagai buruh begitu sederhana, bukan?

Mereka hanya ingin punya sesuatu yang dimiliki sendiri, ingin bekerja untuk dirinya sendiri, berjuang dan bekerja keras untuk kehidupannya sendiri, serta menjadi tuan atas diri dan kehendak mereka sendiri. Untuk satu hal yang sederhana itu, mereka akan bekerja keras di peternakan dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.

'Of Mine and Mice' dibuka dengan kisah George dan Lennie yang tengah melakukan perjalanan ke suatu peternakan di Soledad, California. Mereka berencana untuk bekerja di sana untuk mengumpulkan uang demi mimpi mereka, setelah sebelumnya bekerja pada suatu peternakan di Weed, kota lainnya di bagian utara California. 

Mereka berpergian menaiki sebuah bus, tetapi diturunkan oleh sopir di pertengahan jalan yang selanjutnya mengharuskan mereka untuk berjalan kaki sekitar tujuh kilometer. Ditengah perjalanan yang melelahkan itu, George dan Lennie menyambangi sungai Salinas yang berada di dekat pegunungan Gabilan, sebuah sungai yang terletak tidak jauh sebelum mereka sampai ke peternakan yang tengah dituju. 

Mereka akhirnya memutuskan untuk beristirah dan bermalam di sana sebelum besok harus bekerja di peternakan. Dialog dramatikal yang saya bahas di atas, sebenarnya terjadi pada malam itu saat mereka makan malam di dekat api unggun.

Di awal-awal cerita, kita akan langsung disuguhi dengan gambaran kehidupan buruh migran yang malang, kesulitan saat berpergian dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mencari pekerjaan, kerja keras yang tampak sia-sia, soal-soal eksistensial akan suatu kehidupan yang sepi, hampa, dan tidak berarti apa-apa, tidak memiliki keluarga yang peduli, tidak ada orang yang bisa diajak bicara dan dipercaya, kesendirian, tujuan hidup yang buram, serta mimpi-mimpi sederhana namun tampak bagai fantasi yang utopis.

Saat George dan Lennie sampai dan mulai bekerja di peternakan, John Steinbeck, seakan belum puas, terus saja memberikan gambaran malang kehidupan bara buruh lainnya. Ada Cindy, si tua bangka yang satu tangannya buntung. Ia sudah bertahun-tahun bekerja di peternakan ini sebagai pembantu umum. 

Tugasnya menyapu, mengepel,menyiapkan air bersih dan makanan untuk buruh-buruh lainnya. Awalnya, saya pikir ia adalah tokoh yang agak antagonis, haha. Sebab awal kali bertemu dengan George dan Lennie, si Cindy ini tampak menyembunyikan sesuatu dan mencurigakan, juga saya pikir bekerja selama itu sebagai buruh tentulah barangkali ia merasa bahagia dan nyaman.

Namun ternyata, Cindy memiliki kekhawatiran yang begitu besar dengan hidupnya. Siapa yang mau mengurus dirinya jika sudah tidak bisa melakukan apapun? Ia jelas akan diusir oleh si bos peternakan karena tidak lagi berguna. 

Maka pada suatu malam,saat ia mendengar percakapan antara George dan Lennie tentang mimpi sederhana mereka di masa depan, Cindy memohon-mohon untuk diajak serta. 

Ia tidak keberatan memberikan semua uang simpanannya, tidak keberatan membantu semua hal tanpa dibayar se-sen pun nanti. Ia hanya ingin ada seseorang yang peduli padanya saat ia sudah tak lagi ada guna.

Lalu ada Crooks, si pria negro yang punggungnya bengkok karena ditendang kuda. Crooks, selayaknya orang-orang kulit hitam kala itu, mengalami diskriminasi rasial. 

Ia dikucilkan, bahkan di peternakan tempat ia bekerja selama ini. Ia adalah satu-satunya buruh yang tidak tinggal di barak bersama buruh lain, tapi di sebuah kamar yang satu atap dengan kandang sapi. Jujur, dada saya merasa panas saat mendengar cerita Crooks ini, kemanusian saya seketika tersinggung. 

Perlakuan diskriminatif yang Crooks alami begitu panjang menjadikan dirinya sendiri inferior, merasa seperti manusia rendah. Crooks, misalnya, langsung tak berkutik saat suatu malam, istri Curley (anak brengsek si Bos) memarahinya dengan kejam dan rasis, "Kau harus tahu diri, Negro. 

Aku bisa membuatmu digantung di pohon dengan gampang sampai-sampai tak akan terasa lucu lagi!". Dalam pandangan saya, mental Crooks sudah hancur berkeping-keping hingga tak tersisa lagi harga diri daripada kemanusiaannya. Sebab kala itu, ia hanya mampu berkata, "Ya, Ma'am." tanpa sedikitpun merasa berhak untuk marah dan melawan.

Namun demikian, Crooks pun ternyata masih memiliki harapan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Maka pada suatu malam, saat Lennie tidak sengaja masuk ke kamar Crook di kandang sapi mencari anak anjingnya, Lennie menceritakan tentang mimpi sederhananya di masa depan nanti. 

Awalnya, dengan pandangan yang sinis dan pesimis, Crooks tidak percayadan menganggap Lennie adalah bocah tidak waras dan apa yang dikatakannya adalah suatu kemustahilan yang absurd. Tetapi, tak lama kemudian Cindy pun datang,lalu bercerita hal yang sama dan memperkuatnya. 

Crooks yang saat itu tidak pernah membayangkan hidupnya tidak dapat berubah menjadi lebih baik pun mulai tertarik, dan kemudian meminta kepada mereka untuk ikut serta. Sebagaimana Cindy, ia sungguh-sungguh tidak keberatan jika harus bekerja apapun, bahkan tanpa dibayar. Ia hanya ingin punya teman mengobrol, dan tempat di mana ia diterima sebagai seorang manusia.

Para buruh malang itu, dengan segala perhitungan dan pertimbangan yang realistis, mulai merasa bahwa mimpi sederhananya itu akan segera terwujud. Dengan bekerjasama, mereka sudah dapat melihat satu titik cerah dalam rencananya membangun masa depan yang berbahagia. 

Tapi, suatu hari, akibat ketololan Lennie yang tidak sengaja membunuh istri Curley, semuanya hancur berantakan. Nasib ternyata berkata lain dan menunjukkan suatu tragedi yang naas.

Saya tidak ingin meneruskan kisah selanjutnya. Saya takut dihujat dan dilaknat netizen-netizen jahat karena spoiler, haha. Saya hanya ingin membagikan semata hasil pembacaan saya, bahwa dalam novel 'Of Mice and Men' ini John Steinbeck berhasil menggambarkan dengan begitu epic kehidupan para buruh migran yang malang pada periode Depresi Besar (Great Depression) yang terjadi pada masyarakat proletariat di Amerika Serikat sekitar tahun 1930-an. 

Tetapi di sisi lain, meski menyisakan keharuan dan tragedi yang membuat saya bersedih, John Steinbeck menuliskan 'Of Mice and Men' dengan gaya humor yang lucu dan sering kali akan membuat kita terpingkal terutama pada polah tingkah Lennie yang lugu. Akan ada banyak lelucon simpatik di novel ini. Kita akan tertawa,sekaligus di saat yang sama juga merasa kasihan. Oh ya, novel ini juga agak rasis. Berhati-hatilah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun