Mohon tunggu...
Abdu Alifah
Abdu Alifah Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan

Seorang manusia biasa yang secara kebetulan dianugerahi hobi membaca!

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kekecewaan Saya Terhadap Yusunari Kawabata dan Terjemahan yang Menyebalkan!

14 September 2019   16:57 Diperbarui: 14 September 2019   17:55 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Padahal, dalam cerita selanjutnya, keberadaan 'sarung tangan bermotif seribu bungan bangau' itu sama sekali tidak berperan dalam membentuk cerita-cerita lainnya. Ia bahkan tidak memiliki nilai historis pada sang tokoh, Yukiko, dan tidak jelas pula pengaruhnya pada karakter tokoh. Lalu, yang paling fatal, adalah kenapa motif sapu tangan sialan itu menjadi judul novel ini, sementara cerita bahkan tidak perfokus pada Yukiko? Sumpah mati saya tidak mengerti!

 Bolehlah soal cangkir teh, atau jambangan (Shino) itu menyiratkan satu makna tertentu. Saya lumayan bisa menagkap, walaupun agak sulit dan lama, cangkir teh menyiratkan kebencian dan dendam bagi Nyonya Ota karena sering dipakai oleh ayah Kikuji dan wanita lain sehingga ia selalu menggunakan cangkir teh yang berbeda. Atau soal jambangan jelek dan murahan namun begitu berharga bagi Kikuji, sebab itu adalah satu-satunya peninggalan dari Nyonya Ota.

Jambangan itu menyiratkan banyak hal, terutama pada perasaan sesal dan bersalah Kikuji karena ia yang merasa dirinya adalah penyebab daripada kematian Nyonya Ota. Menurut saya, alasan Kikuji terus merawat jambangan itu karena ia masih merasa bersalah, dan karena itulah, mungkin, Fumiko kemudian menghancurkannya, untuk membebaskan Kikuji dari perasaan bersalah itu sendiri. 

Sungguh, yang terakhir tadi itu,soal sapu tangan seribu burung bangau sialan itu, sungguh-sungguh tidak tidak bisa diterima oleh akal dan imaji saya. Ya ampun, Apa intinya? Apa esensinya? Apa maksudnya?Entah!

Dari beberapa referensi yang kemudian saya baca, begitulah kiranya seorang Kawabata menulis. Tersirat, menggantung, dan seakan-akan berhenti begitu saja mengakhiri ceritanya. Saya sempat melongoseperti orang goblok untuk beberapa saat di ujung kata 'TAMAT'. Lho, sudah? Begini saja? setan! Ini bagian yang sangat menyebalkan, dan saya sangat tidak suka. Ada yang mengganjal di situ, sesuatu yang belum selesai, belum tuntas. Aduhai, sungguh-sungguh saya sedang mencari cerita yang kira-kira akhirnya itu jelas, ya kalau bahagia, bahagialah selakian! Kalau memang sedih, ya sedihlah sekalian! sumpah, saya tidak keberatan kalau memang harus mengucurkan air mata seember. Tapi tidak sudi sedikit pun digantung! Ini sih sama saja mirip cerita cinta saya, gak jelas blas! Asuuu.

Kekecewaan saya ini, belum lagi ditambahkan dengan segenap problem bahasa penerjemahan yang sangat kaku. Ya ampun, bayangkan, hanya untuk menulis kata 'bodoh', si penterjemah, Max Arifin itu, sampai tega sekali menggunakan kata 'pelon'. Astaga, siapa di sini yang tahu kata 'pelon'? Belum lagi kata-kata konjungsi yang berantakan, tidak efektif dan banyak pengulangan, terlalu banyak kata 'dan', 'yang', dan semacamnya. Singkat kata, terjemahannya sangat terpaku pada struktur kata bahasa asal. Dalam konteks ini, Max Arifin menterjemahkan 'Seribu Burung Bangau' dengan terpaku pada gramatikal bahasa inggris dan luput bahwa struktur kalimat bahasa indonesia itu cukup berbeda dan beragam. Terjemahan yang menyebalkan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun