Cantik itu Luka adalah sebuah karya yang sangat rumit namun mengangumkan. Sungguh sangat sulit sekali untuk mengidentifikasi jenis sastra macam apakah ini.Â
Semua gaya kepenulisan sastra seperti bercampur baur dan semua unsur bertaburan disana-sini. Membaca Cantik itu Luka seperti membaca semua isi kepala sang author, Eka Kurniawan.Â
Tetapi jelas itu sangatlah berlebihan, sebab Eka memiliki karya-karya lain seperti Lelaki Harimau, O, Corat-Coret di Toilet, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas dan lain-lain. Meski begitu, untuk memahami bagaimana konstruksi pemikiran seorang Eka Kurniawan, karya ini sangat penting untuk dijadikan sebuah pijakan.
Cantik itu luka adalah adalah novel pertama Eka Kurniawan, seorang sarjana Filsafat Universitas Gajah Mada lulusan tahun 1999.Â
Sebagai karya pertama, buku ini merupakan karya yang sangat gemilang dengan diterjemahkan ke banyak bahasa seperti Inggris, Jerman, Polandia, Norwegia, Prancis, Jepang, dan lain-lain.Â
Cantik itu luka juga beberapa kali memenangkan penghargaan seperti word readers pada tahun 2016 dan berkat novel ini pula Eka mendapatkan penghargaan sastra bergengsi Tahtifantasi di Firnlandia.
Dari awal membaca novel ini, kita akan langsung disuguhi oleh sebuah kisah yang sangat absurd, seorang perempuan tua bangkit dari kubur setelah dua puluh satu tahun kematian.Â
Sebuah pembukaan cerita yang sangat heboh, tidak masuk akal, tidak jelas, namun disaat yang sama sungguh memibikin penasaran setengah mati dengan cerita-cerita selanjutnya.Â
Eka seakan-akan ingin menunjukan sedari awal bahwa cerita ini akan jadi cerita yang brutal, meriah dan penuh dengan konflik.
Judul : Cantik itu Luka
Penulis : Eka Kurniawan
Tahun : 2002 (edisi keenam belas; September 2018)
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Dimensi : 21 cm x 14 cm
ISBN : 978-602-03-1258-3
Perempuan tua yang bangkit dari kematian itu adalah Dewi Ayu, seorang peranakan Belanda-Pribumi dari keluarga Stammler.Â
Sebenarnya tidak seutuhnya campuran pribumi, sebab Aneu Stammler, yang merupakan ibu Dewi Ayu adalah anak yang lahir dari seorang totok Ted Stammler dan gundik pribumi Ma Iyang.Â
Lalu, ayah Dewi Ayu, Henri Stammler adalah peranakan murni seorang totok Ted Stammler dan Marietje Stammler. Mungkin seperempat pribumi, atau entahlah. Memang rumit, tetapi begitulah Dewi Ayu lahir dari hasil hubungan inses keluarga Stammler.
Dewi Ayu bekerja sebagai seorang pelacur, dari hasil pelacurannya, ia melahirkan empat anak gadis dari bapak yang jelas tidak mungkin diketahui. Semua anaknya, Alamanda, Adinda, Maya Dewi mewarisi kecantikan ibunya yang merupakan pelacur terbaik sejagat kota Halimunda kecuali Si bungsu.Â
Si bungsu lahir dengan wajah buruk rupa, mungkin seburuk-buruknya makhluk manusia, penggambaran rupa si bungsu penuh dengan metafora yang mengerikan dan menjadi begitu tragis setelah dberi nama "Cantik". Sebuah nama yang sangat tidak pantas untuk manusia paling jelek yang pernah ada.
Ketiga anak Dewi Ayu, kecuali lagi-lagi si bungsu, kemudian menikah dan memiliki anak. Alamanda menikah dengan Sang Sodancho, seorang mantan prajurit Jepang di Daidan Halimunda yang memberontak dan memilih menjadi veteran perang Hindia Belanda dan diangkat menjadi seorang jenderal (tetapi kemudian ia tolak).Â
Adinda menikah dengan Kamerad Kliwon, seorang pejuang komunis paling berpengaruh di Halimunda. Maya Dewi menikah dengan Maman Gendeng, seorang preman paling ditakuti se Halimunda.Â
Dari tiga pasangan yang terasa ganjil tersebut, lahirlah Nurul Aini dari Alamanda dan Sang Sodancho, Krisan dari Adinda dan Kamerad Kliwon serta Rengganis si Cantik dari Maya Dewi dan Maman Gendeng.Â
Ketiga anak tersebut lahir hampir berbarengan dalam waktu yang berdekatan dan tumbuh menjadi dewasa bersama. Ketiga anak inilah yang kemudian akan membuat sebuah konflik dan tragedi paling bersejarah di Halimunda.
Begitulah kira-kira gambaran singkat dari beberapa tokoh utama yang ada dalam kisah Cantik itu Luka. Sebenarnya, masih banyak tokoh-tokoh sentral dan memiliki peran penting dalam novel ini yang belum sempat untuk digambarkan seperti Ma Gedik, Rosinah, Edi Idiot, Mina, Kamerad Salim, Kinkin, dan lain-lain. Novel ini sungguh memiliki cerita yang kompleks dengan begitu banyak tokoh.Â
Eka tampak sangat lihai dalam menghubungkan setiap tokoh dalam cerita ini hingga membentuk suatu kausalitas (sebab akibat) cerita yang sering kali memiliki ending yang tak terduga. Sebabnya, setiap pemeran dalam novel ini selalu digambarkan Eka dengan penokohan yang kuat dan dalam. Sungguh, setiap tokoh baru yang muncul setidaknya akan menghabiskan 5 sampai 10 halaman jika tidak satu bagian yang sangat panjang.
Sepanjang cerita Cantik itu Luka, kita akan dipusingkan dengan alur cerita surealisme yang membingungkan, ditambah dengan plot maju-mundur yang tak terduga.Â
Terlebih lagi unsur-unsur surealisme yang ditampilkan sangat mistis. Kita akan dibuat bingung, atau mungkin juga lucu, dengan cerita misalnya hantu-hantu komunis yang bergentayangan di Halimunda paska tragedi pembantaian 1965 oleh pasukan tentara yang dipimpin Shodancho.Â
Lalu hantu-hantu itu mulai bertingkah nakal dan menganggu, terutama kepada sang Shodanco. Namun lucunya, Alamanda bisa mengusir hantu-hantu itu dengan cara diberi sepiring makanan. Sungguh absurd.
Unsur-unsur mistisme dan magis dalam novel ini juga sangat kuat. Lagi pula, sepertinya novel ini malah dibuka dengan sesuatu yang seperti itu.Â
Eka seperti mencoba untuk menunjukan kondisi sosial masyarakat kita yang masih memiliki kepercayaan yang kuat terhadap hal-hal yang sifatnya takhayul dan fatalistik.Â
Misalnya seperti mandi kembang ketika 6 bulan masa kehamilan untuk memperoleh anak yang diimpikan. Atau kepercayaan para nelayan terhadap Nyi Loro Kidul, tradisi memotong kepala sapi, bahkan sampai kemampuan untuk moksa.
Unsur-unsur metafora dalam Cantik itu Luka sebenarnya banyak, biasanya dalam bentuk yang sama dengan satire (sindiran).Â
Misalnya, penggabaran Kamerad Kliwon tentang kecantikan Alamanda yang melebihi Helena yang menyebabkan perang Troya Meletus, atau Diah Ayu Pitaloka yang menyebabkan perang Bubat antara Majapahit dan Pajajaran.Â
Metafora dalam novel ini banyak mengambarkan tentang kecantikan peremuan, atau imajinasi seseorang saat sedang berahi dan bercinta. meski begitu, unsur-unsur metafor dalam novel ini menjadi mudah untuk dibayangkan sebab dari awal telah dibalut dalam gaya surealisme.
Eka memang terkesan main-main dengan cerita-cerita fantasi dan mistis yang dibalut dengan gaya surealisme tersebut.Â
Namun, disaat yang sama juga memasukan banyak sekali unsur-unsur realis terutama persoalan sejarah, misal, Perang dunia kedua meletus, Belanda kalah dari Jepang,Â
Jepang menduduki Indonesia, membentuk PETA, Jepang kalah dari sekutu, Indonesia memploklamirkan kemerdekannya pada 17 Agustus tahun 19945 (walaupun dimain-mainkan oleh Eka dengan menagatakan bahwa di Halimunda perayaan hari kemerdekaan indonesia adalah 23 September hanya karena terlambat mendapatkan informasi; ini sungguh membikin geleng-geleng kepala).Â
Eka juga tidak segan-segan memasukan sejarah G30S/PKI, D.N Aidit dieksekusi, tokoh-tokoh komunis dieksekusi, dan akhirnya semua orang komunis dibantai habis.Â
Terdapat juga salah satu tokoh komunis yang diangkat Eka dari tokoh nyata, yakni Kamerad Salim yang sepertinya adalah Muso (menurut penulis), sebab ia menceritakan bahwa dirinya dulu pernah belajar pada guru yang sama dengan Soekarno, pernah belajar di Soviet, dan salah satu petinggi komunis di Indonesia.
Namun, yang membuat Cantik itu Luka layak untuk dibaca adalah Kritik sosial yang Eka lontarkan dalam menggugat kemanusiaan. Mungkin oleh sebab demikianlah Ben Anderson kemudian mengatakan bahwa Eka adalah penerus Pram, atau bisa jadi pula merupakan Multatulian.Â
Eka menyindir misalnya, ketika si Cantik lahir dengan wajah buruk rupa sambil diiringi lolongan ajak dan membuat geger masyarakat, akhirnya mereka berbondong-bondong mendatangi si Cantik, desas-desus muncul bahwa kelahiran si Cantik seperti kelahiran Yesus saat orang-orang Majusi melihatnya diiringi suara-suara binatang.
Lalu isu mulai berkembang, kelahiran si Cantik seperti kelahiran nabi, pembawa berkah, penyembuh penyakit, memperbagus nasib dan lain sebagainya.Â
Akhirnya mereka meminta semacam berkah dengan berebut akhir dari hasil mandi si Cantik. Melihat ini, Rosinah (pengurus si Cantik) menaruh sumbangan, bisnis keberkahan dimulai. Ini menunjukkan bahwa masyarakat kita sangatlah primitif, irrasional dan fatalistik.
Atau, Eka juga menyindir dengan menggambarkan seorang kiyai yang tidak mau memandikan Dewi Ayu yang merupakan seorang pelacur kotor.Â
Tetapi, setelah Dewi Ayu bangkit dari kematiannya yang dianggap seperti sebuah Mukjizat, sang kiyai dengan sangat sopan menemui Dewi Ayu untuk meminta nasihat seperti meminta nasihat kepada orang-orang shaleh lainya.Â
Hal ini menunjukan bahwa perilaku masyarakat kita, bahkan jika ia adalah seorang pemuka agama, orang-orang suci, ternyata sangatlah munafik.Â
Kedua hal ini menurut Mochtar Lubis, munafik dan mempercayai mistis, merupakan ciri-ciri utama manusia Indonesia.
Singkat kata sebagai penutup, Cantik itu Luka adalah sebuah karya yang sangat kompleks tapi asyik. Novel ini memberikan pandangan baru kepada dunia bahwa karya sastra kita sangat layak untuk disandingkan dengan karya-karya kanon dan kesusastraan Eropa. Siapa pun dari bangsa kita akan menyesal tak pernah membaca buku ini. Selamat membaca!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H