Ramai-ramai ada pengajian di Trotoar Malioboro inilah yang memicu tulisan ini muncul. Saya ndak tau maksud dan tujuannya. Asumsi saya yang melihat fenomena seperti ini dari jauh :
1. Syiar itu bukan melakukan ritual keagamaan di jalan/ trotoar/ tempat umum lainnya. Syiar itu jangan sampai mengganggu ketertiban umum. Jangan sampai mengganggu hak pengendara dan pejalan kaki.
 :
meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Kalau melakukan ritual keagamaan ya dirumah ibadah, kalau Islam ya di Masjid. Yang Repot itukan Masjid dibuat tidur jalan dibuat sholat. Kalau hal ini diteruskan dan dibiarkan akan terjadi disharmonisasi antara umat beragama.
2. Kegiatan keagamaan yang terlalu simbolik justru kadang mengaburkan esensi beragama.
3. Pamer biasanya untuk yang palsu atau pemula. Seperti penipuan berkedok pamer kekayaan atau bocah TK yang pamer bisa baca tulis.
4. Syiar/Dakwah harus beretika dan menghormati orang lain. Seperti syiar sunan Kudus (dilarang berkurban dgn sapi), sunan kalijaga (wayang) dan walisongo pada umumnya.
5. Apabila niat baik untuk syiar Islam tapi mbok dengan cara yang pas/sesuai, dengan cara yang baik dan benar. Syiar dgn etika dan rasionalitas.
Dadiya wong Sing Isa Rumangsa, udu Wong sing Rumangsa Isa ( Dosen B. Arab : Maulidi Al Hasany)
Agar fenomena seperti ini tidak terus menerus terjadi mari Kita Renungkan kembali dawuh Gus Mus bahwa semangat keberagamaan harus diimbangi dengan pemahaman terhadap ajaran agama. Islam yg ngotot/Pethentengan/kaku/keras itu karena Tidak paham kalau Allah Maha Pengasih & penyayang, tidak paham kalau setelah bab ghodob/marah ada bab sabar,ikhlas, tawadlu'; tidak paham kalau dirinya lulusan SD merasa seperti Doktor. Itulah Pentingnya --tidak hanya Berdzikir tapi juga berpikir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H