Mohon tunggu...
Abd Rasyid Tunny
Abd Rasyid Tunny Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Muslim Indonesia,Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Eksistensi Ketupat di Tengah Moderenisasi

19 Juli 2016   17:33 Diperbarui: 19 Juli 2016   17:43 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Momen Idul Fitri memang sudah berakhir. Satu hal yang terpenting dari momen tersebut yaitu Idul Fitri yang kita kenal dengan nama Lebaran identik dengan makanan khas Nusantara bernama Ketupat. Makanan tradisional berbahan baku beras ini bahkan menjadi ikon setiap lebaran tiba.

Bentuknya yang unik atau dalam bahasa anak-anak alay disebut unyu-unyu membuat ketupat tidak mudah untuk membuatnya. Bahan kulitnya terdiri dari anyaman janur atau daun kelapa muda berwarna putih kekuningan yang cukup rumit. Sebab membutuhkan keterampilan tangan dalam membuatnya.

Di desa penulis, masyarakat percaya jika semua generasinya harus tahu bagaimana caranya menganyam ketupat yang nampak rumit tersebut. Konon menurut kepercayaan yang entah dari mana dalilnya tersebut, pamali jika tidak bisa membuat ketupat. Bahkan sanksi dari ketidaktahuan dalam membuat ketupat semasa hidup maka ketika Anda wafat saat dikubur nanti Anda akan disuruh memegang alat kelamin salah satu binatang yang diharamkam yaitu babi.

Sangat ekstrem dan keras bagaimana nenek moyang penulis menanam nilai-nilai dalam membangun kultur masyarakat setempat. Menurut saya, tak ada yang salah dengan itu. Sebab tujuannya agar generasinya kelak tidak masa bodoh dengan hal-hal sepele seperti ini. Sehingga dibuatlah sebuah konsep pamali untuk mempertegas eksistensi ketupat.

Namun, ternyata eksistensi ketupat pun kini tetap terancam dengan hadirnya kelapa sawit yang kemudian menggusur sebagian pepohonan kelapa dengan dalil perekonomian nasional. Eksistensi ketupat terancam dengan hadirnya berbagai tambang yang menggusur pepohanan kelapa di mana janur kuning didapat. Eksistensi ketupat juga diancam oleh budaya hendonisme makanan ala kebarat-baratan sehingga ketupat mempunyai popularitas hanya di kaum-kaum tradisional atau kaum sarungan.

Hari ini memang kita belum berurusan dengan langkanya janur pembuat ketupat. Tapi bisa jadi ke depan, anak cucu kita akan mengalaminya. Apabila sampai hal itu terjadi, maka itu adalah bagian dari dosa kita generasi hari ini. (

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun