Jurnal JAWI (Vol.7 No.2) yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung baru saja merilis satu artikel yang menarik berjudul Strategi Gerilya Raden Intan II Melawan Belanda di Lampung 1850-1856 karya Itsna Rohmatillah et al. (2024, pp. 26--39).
Topik tersebut sejauh ini masih terabaikan dalam historiografi daerah Lampung. Padahal, menurut para penulis bahwa ada empat fakta terkait dengan tokoh Raden Intan (1834-1856) yang dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat Lampung. Â
Pertama, Raden Intan adalah Pahlawan Nasional pertama dari Lampung yang ditetapkan oleh Presiden RI Soeharto pada 1986. Kedua, namanya dipakai untuk perguruan tinggi keagamaan Islam pada 1968, yakni IAIN Raden Intan, yang kemudian bertransformasi menjadi UIN Raden Intan tahun 2017. Ketiga, nama Bandara Udara sejak 1997, yang semula bernama pelabuhan udara Branti yang didirikan oleh Jepang pada 1942. Keempat, nama ruas jalan di pusat Kota Bandar Lampung, tepatnya Tugu Adipura, yang terbentang sepanjang 1,47 Km. Â
Artikel tersebut menjelaskan strategi perjuangan Raden Intan dalam melawan Belanda. Usaha ini mencerminkan kecemerlangan lokal (local genius) seorang ulun Lampung dalam memanfaatkan kondisi lingkungan alam Lampung Selatan, khususnya Gunung Rajabasa sebagai pusat perjuangan gerilya selama enam tahun (1850-1856).
Taktik GerilyaÂ
Buku penting yang menjelaskan taktik gerilya dalam sejarah Indonesia ialah karya Abdul Haris Nasution (1980), berjudul "Pokok-pokok Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia di Masa Lalu dan yang akan datang". Menurutnya, di antara panglima perang gerilya yang paling tersohor dalam sejarah Indonesia ialah Pangeran Diponegoro (Jawa), Tuanku Imam Bonjol (Sumatera Barat), dan Teuku Umar (Aceh). Â Â
Perang gerilya pada dasarnya adalah perang antara yang kecil atau pihak yang lemah melawan pihak yang besar atau kuat. Menurut Nasution, perang ini tidak akan membawa kemenangan terakhir, karena ia hanyalah cara defensif untuk memeras darah musuh. Taktik ini sekadar untuk menyiapkan dan menantikan waktu yang tepat untuk melakukan aksi ofensif. Aksi terakhir inilah yang akan menghasilkan kemenangan.
Perang gerilya memerlukan waktu yang lebih lama dan meminta penderitaan dan pemerasan tenaga yang lebih luas dan berat. Ia membawa akibat bagi kerusakan-kerusakan jasmani dan rohani. Karena itu, dibutuhkan keteguhan ideologi. Gerilyawan bukan hanya sebagai pemanggul senjata, seperti dalam perang biasa, melainkan sebagai pemanggul ideologi.
Rakyat yang tertindas, terjajah, dan teraniaya mengepalkan tangan mereka melawan para penindas. Dalam konteks ini, ideologi dan semangat kemerdekaan menjadi sumber kekuatan dan kesanggupan untuk memulai perlawanan terhadap musuh yang kuat dan teratur dengan segala tentaranya (p.15). Â Â
Perang gerilya tidak memerlukan banyak peraturan dan kebiasaan yang lazim dalam tantara biasa. Namun, tidak boleh diartikan bahwa setiap orang dapat bertempur dengan sesuka-sukanya atau terus menggempur dan mencari musuh.
Gerilyawan harus berdisiplin, berorganisasi, dan berlatih. Mereka harus mempelajari taktik tempur, mempunyai rancangan dan perhitungan-perhitungan. Selain itu, mereka harus mempunyai pemimpin yang harus ditaati. Â
Perang gerilya tidak mempunyai front (garis depan) dan basis (garis belakang), seperti tantara biasa. Yang terpenting adalah gerilyawan menghindar, mundur lalu menghilang, menghambur ke semua jurusan di antara rakyat, jika diserang dan diburu oleh musuh. Â
Praktisnya, gerilyawan berkumpul dan menyerang secara tiba-tiba ketika musuh sedang mundur, terpencil, tidur, lelah, dan sebagainya. Mereka menyerang sekonyong-konyong, lalu seketika menghilang sebelum datang bantuan musuh (p.30). Â
Pada prinsipnya tujuan gerilya adalah memaksa musuh tersebar ke mana-mana menjadi immobile sebanyak-banyaknya, dan terpaksa mengadakan stelsel perbentengan yang tetap. Musuh disebar-sebar, dipecah-pecah dan dipakukan. Sementara gerilyawan terus memeras darah, keringat, dan urat syarafnya. Musuh yang besar harus dihindari, dan musuh yang kecil harus dikepung dan diserang serta alat-alatnya dirampas, tulis Nasution. Â
Gunung Rajabasa sebagai Pusat GerilyaÂ
Kondisi alam dan pengetahuan yang baik mengenai lingkungan merupakan syarat mutlak dalam melakukan perang gerilya. Untuk melakukan tindakan yang muncul-menghilang dan tak dapat dicari namun selalu ada di mana-mana, maka perliu pangkalan-pangkalan dimana bumi dan rakyatnya memenuhi syarat tertentu.
Syarat yang dimaksud adalah (1) bumi yang sulit didatangi oleh musuh, (2) bumi yang memiliki cukup tempat persembunyian dan jalan penyingkiran, (3) bumi yang tak dapat diserbu oleh musuh secara besar-besaran dengan peralatan yang berat, (4) bumi di mana gerilyawan dapat memaksa musuh berhadapan dengan peralatan yang sama, dan (5) bumi yang didiami oleh rakyat yang bersemangat dan memperjuangkan ideologi yang sama dengan gerilyawan (p.37).
Pemilihan Gunung Rajabasa sebagai pusat gerilya melawan Belanda tak lepas dari kondisinya yang mendukung mobilitas gerilya. Ketinggian gunung ini mencapai 1.281 meter dari permukaan laut. Topografinya didominasi oleh lereng-lereng curam dan kemiringan hingga 30%.
Gunung Rajabasa sangat strategis, karena berhadapan dengan Selat Sunda, jalur yang menghubungkan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa. Dari gunung inilah, Raden Intan dan pasukannya dapat memantau pergerakan pasukan Belanda dari Batavia via Selat Sunda menuju pantai Lampung.
Selain itu, Raden Intan dapat memanfaatkan potensi pelayaran dan perniagaan di Selat Sunda, sebagai sumber pemasukan pasukannya, termasuk para pelaut (perompak dari sudut pandang Belanda) yang tidak suka dengan dominasi Belanda dalam pelayaran niaga di Selat Sunda. Di antara pelaut tersebut adalah orang Bugis dan orang Mandar, yang berasal dari Sulawesi. Â
Di lokasi gerilya Raden Intan hanya ada jalan setapak yang bisa dilewati dengan cara mendaki, bahkan ada pasukan Belanda harus merayap seperti ular ketika menelusuri gunung ini untuk mencari Raden Intan, tulis Rohmatillah dkk.Â
Ada delapan benteng yang menjadi pangkalan gerilya di Gunung Rajabasa yaitu: Galah Tanah, Raja Gepe, Pematang Sintok, Katimbang, Salai Tabuhan, Merambung, Bendulu, dan Hawi Berak.
Benteng Galah Tanah dibangun dengan parit di sekelilingnya. Ia dikelilingi oleh pagar bambu runcing yang rapat, juga lubang-lubang senapan kecil yang dibuat dengan bambu. Sementara Benteng Hawi Berak berada di tengah belukar. Pasukan Belanda harus berjalan dengan tangan kanan memegang senjata dan tangan kiri memegang kompas menuju lokasi ini, tulis Rohmatillah dkk. Â
Kondisi medan yang begitu sulit dan perlengkapan pasukan Belanda yang berat membutuhkan tenaga kuli untuk membawanya, sebanyak 20 orang untuk setiap kompi. Ini berimplikasi terhadap operasional ekspedisi, seperti dialami oleh Kolonel Waleson saat menyerang benteng-benteng pertahanan Raden Intan di Gunung Rajabasa tahun 1856. Â Â
Selain faktor alam, keberadaan penduduk juga sangat penting dalam perang gerilya. Secara kultural dan politik, Raden Intan adalah pemimpin Keratuan Darah Putih (1850-1856) di Kahuripan, yang terletak di kaki gunung Rajabasa. Wilayahnya dihuni oleh empat kesatuan marga yaitu: Ratoe, Dantaran, Legon (Way Urang), dan Rajabasa. Â
Empat marga tersebut telah menjadi barisan perjuangan Raden Intan I (1816-1824) dan Raden Imba Kesuma (1828-1834), yang tak lain adalah kakek dan ayah dari Raden Intan II. Setelah mereka tiada, para pengikutnya terus berjuang di bawah pimpinan Raden Intan II. Â Â
Dalam komposisi pengikut Raden Intan, selain masyarakat dan tokoh lokal, juga terdapat tokoh pejuang Banten yang sangat anti Belanda, yakni Haji Wakhia. Tokoh ini dikenal sangat gigih melawan Belanda di Banten, tulis Sartono Kartodirdjo (1984) dalam bukunya, "Pemberontakan Petani Banten 1888".Â
Haji Wakhia menolak untuk membayar pajak dan memobilisasi massa untuk melawan pemerintah Belanda sehingga ia menjadi target penangkapan pasukan Belanda. Guna mengindari itu, maka ia kemudian pindah ke Lampung bersama dengan rekannya, Tubagus Iskak. Bersama dua tokoh Banten lain, Wak Maas dan Luru Satu, mereka mendukung perjuangan Raden Intan II melawan Belanda. Â Â
Menghadapi kesulitan tersebut, Belanda menggunakan berbagai cara untuk menangkap Raden Intan. Mereka menghasut Raden Ngarapat (Kepala kampung Taan Udik) dengan imbalan bahwa ia tetap berkuasa penuh di wilayahnya. Ngarapat lalu mengundang Raden Intan makam malam di sebuah rumah persawahan. Ketika menikmati jamuan, mereka langsung disergap oleh Ngarapat sehingga terjadi bertrokan. Akibatnya Raden Intan terbunuh pada 5 Oktober 1856. Â
Kendati Raden Intan sudah wafat, wawasan lingkungannya tetap diemban oleh kampus hijau yang menggunakan namanya, UIN Raden Intan. Tetapi, bukan lagi bergerilya di Gunung Rajabasa, melainkan dengan komitmen besar (visi) menjadi rujukan internasional dalam pengembangan ilmu keislaman integratif-multidisipliner berwawasan lingkungan tahun 2035. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H