Sejak masa kecil di kampung halaman saya, Dusun Temi Desa/Negeri Luhu, Provinsi Maluku, dikenal sebutan "cengkih Hoamual", yakni cengkih yang tumbuh liar di tengah hutan berukuran besar dan tidak diketahui siapa yang menanamnya.
Apakah itu adalah warisan antar generasi dari cengkih Hoamual yang pernah jaya di masa lalu? Kendati disebut cengkih liar, pasti ada yang pernah menanam bibitnya di masa silam.
Hermanus Johannes de Graaf, dalam bukunya "De Geschiedenis van Ambon en de Zuid-Molukken" (1977) menulis bahwa pada tahun 1475 penduduk Seram mulai membuat kebun-kebun cengkih secara teratur walaupun dalam ukuran yang kecil. Mereka harus sabar menanti, karena ia membutuhkan waktu yang lama sebelum berbuah. Cengkih perlu penanganan yang teratur dan kontinyu. Setelah bunganya matang dan siap panen, maka diadakan pesta besar-besaran.
Asal usul cengkih Hoamual
Cengkih Hoamual berasal dari Maluku Utara. Penduduk Kambelo menggunakan perahu korakora berlayar ke Bacan mengambil bibit cengkih yang disimpan dalam ruas bambu lalu dibawa ke Seram untuk ditanam di perkebunan besar dan teratur. Walhasil, dalam waktu 50 sampai 60 tahun kemudian seluruh jazirah Hoamoal sudah dipenuhi ribuan pohon cengkih.
Ketika Belanda tiba di Hoamual tahun 1600, penduduknya dengan bangga memperlihatkan kebun-kebun cengkih yang sudah berbuah lebat. Setengah abad kemudian, kata Rumphius, pohon-pohon cengkih sudah berumur 130 tahun. Pohonnya sangat tinggi dan besar, sehingga perlu 2 sampai 3 orang untuk memeluk pohonnya.
Penduduk Hoamual memetik 550 pon (sekitar 225 kg) setiap pohon, lalu diberikan kepada pedagang Belanda sebagai kenang-kenangan. Menurut Rumphius, pohon itu sudah sangat tua, karena pada masanya pohon sebesar itu tidak ada lagi. Biasanya sepohon cengkih paling lama berumur 60 tahun, tulis de Graaf. Â
Penanaman cengkih di Hoamual lebih awal dibandingkan Ambon. Tak heran bila jumlah produksinya lebih banyak dari semua daerah di Maluku Selatan. Ambil contoh, pada tahun 1642 jumlah produksi cengkih di Hoamual 44 persen dari total produksi 400.000 pond. Kemudian, pada tahun 1647 mencapai 30 persen dari total 500.000 pond.
Produksi cengkih di Hitu berada pada posisi kedua, masing-masing 29 persen dan 24 persen pada tahun tersebut, tulis Knaap (2004) dalam bukunya, "Kruidnagelen En Christenen: De Verenigde Oostindische Compagnie En de Bevolking van Ambon, 1656-1696." Â
Hoamual merupakan penghasil cengkih terbanyak di Maluku di bawah kekuasaan Kesultanan Ternate, yang dipimpin kimelaha (wali negara). Dari tahun 1620 sampai 1624, kemelaha dipercayakan kepada Hidayat, pangeran dari keluarga sultan Ternate. Ia menjalankan perdagangan bebas cengkih. Beberapa kampung di Ulias dimobilisasi untuk melawan Belanda. Penduduk yang telah menganut Kristen di zaman Portugis beralih menganut Islam, tulis Keuning (1973).Â