Mohon tunggu...
Abd Rahman Hamid
Abd Rahman Hamid Mohon Tunggu... Sejarawan - Penggiat Ilmu

Sejarawan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sai Bumi Ruwa Jurai: Local Genius Ulun Lampung

13 Februari 2024   14:24 Diperbarui: 13 Februari 2024   14:34 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi Museum Lampung (dokumentasi penulis)

Sejak paruh kedua abad ke-16, hubungan Lampung dengan Banten semakin erat. Banten menyiarkan agama Islam di Lampung, sebaliknya Lampung menyuplai lada untuk kebutuhan perdagangan internasional di pelabuhan Banten. Tidak kurang 90% kebutuhan lada Banten diperoleh dari Lampung. Sultan Banten menempatkan wakil-wakilnya (bangsawan dan punggawa) di Lampung untuk mengontrol proses produksi dan jaringan niaga lada.

Selain mengurus perdagangan lada, wakil-wakil Banten juga menyiarkan Islam dan menyalurkan guru-guru agama ke Lampung. Dari proses ini, ada sebagian punggawa yang menikah dengan anak pemuka adat Lampung dan mereka tinggal di sana. Selain itu, banyak pula pemuka adat Lampung ke Banten meminta pengakuan atas kedudukannya sebagai kepala marga di Lampung, serta belajar agama Islam dan berobat di Banten (Untoro, 2007).

Fakat sejarah menunjukkan bahwa selama lebih kurang tiga abad, hampir semua kejadian di Lampung dan Banten punya kaitan. Tidak heran pula, bila dua Pahlawan Nasional dari Lampung, Raden Intan dan KH Ahmad Hanafiah, punya kaitan genealogis dengan Banten. Ulun Lampung juga sudah berabad lamanya menjadi masyarakat Banten, tepatnya sekarang di Desa Cikoneng Kabupaten Anyer.   

Pada awal abad ke-20, Lampung mendapat perhatian pemerintah Hindia Belanda dalam pelaksanaan politik etis. Salah satu programnya adalah emigratie (pemindahan penduduk) Jawa ke luar Pulau Jawa pada 1905. Dalam hal ini, Lampung merupakan tujuan pertama emigrasi. Proses ini berlangsung sampai Indonesia merdeka terutama pada era Orde Baru yang dikenal sebagai transmigrasi. Orang Jawa pada akhirnya menjadi sukubangsa mayoritas di Lampung.   

Seiring bertambah banyak jumlah pendatang, maka ulun Lampung melakukan pemaknaan kembali atas falsafah SBJR. Peminggir dan Pepadun menjadi satu bagian, dan satu bagian lain adalah pendatang (multietnis). Jadi, yang disebut Ruwa Jurai adalah ulun Lampung dan pendatang yang sama-sama tinggal di Sang Bumi Lampung. Pandangan ini terkonfirmasi dari penelitian (disertasi) antropologi Risma Margaretha Sinaga (2012) dan pengakuan seorang ulun Lampung sekaligus Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Provinsi Lampung, Drs. Iskandar Syah, MH (periode 2022-2027), kepada penulis pada tahun 2023. 

Sensus penduduk Lampung tahun 2000 menunjukkan 61,89% orang Jawa dari total 6.646.890 jumlah penduduk. Sementara ulun Lampung hanya mencapai 10,64% yang terdiri atas Peminggir 6,42% dan Pepadun 4,22%. Keduanya berada di urutan keempat dan kelima, setelah itu barulah Melayu 3,55% dan Banten 2,50%. Mungkin inilah sebabnya sehingga bahasa Lampung jarang terdengar di tempat umum, antara lain di Kota Bandar Lampung.

Meskipun demikian, penulis yakin bahwa bahasa Lampung dapat terjaga eksistensinya bila tetap diajarkan kepada peserta didik di sekolah seperti sekarang. Begitu pula Sejarah Lampung harus (tetap) diajarkan kepada semua peserta didik, baik di sekolah/madrasah maupun perguruan tinggi. Itulah satu dari banyak cara kita mengapresiasi local genius Ulun Lampung.  

Catatan

Berdasarkan Perda Lampung Nomor 4 tahun 2009, tentang Perubahan Lambang Daerah Privinsi Lampung,  bahwa penulisan "Sang" dalam "Sang Bumi Ruwa Jurai" diubah menjadi "Sai", sehingga lengkapnya ditulis Sai Bumi Ruwa Jurai.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun