Ada juga yang mengartikan "Onrust" sebagai keonaran. Pasalnya, di sana pernah menjadi tahanan atau transit bagi orang-orang yang membuat keresahan. Sebut misalnya para pelaku pembajakan kapal Belanda "De Zeven Provincien" pimpinan J.K Kawilarang pada 1933. Mereka ditahan di Onrust selama tujuh bulan, sebelum kasusnya diputuskan oleh pemerintah. M. Sapija (1960), dalam buku Sedjarah Pemberontakan di Kapal Tudjuh (Zeven Provincien), menulis bahwa para pelaku yang masih hidup diborgol dengan rantai dan dimasukkan ke dalam kamp tawanan di Onrust. Kamp-nya terdiri dari sejumlah barak berupa loods panjang yang berdinding dan beratap seng. Setiap barak menampung sekitar 50 orang. Para yang dipanggil ke luar barak tangannya diborgol sampai 5 orang dengan satu rantai panjang. Bila satu dari mereka harus ke kamar mandi, maka semuanya juga ke sana. Mereka diawasi para serdada yang bersenjata lengkap.
Pada awal Perang Dunia II, Belanda menjadikan Onrust sebagai kamp Interniran orang-orang Jerman di Indonesia, antara lain Steinfurt (mantan kepala administrator Onrust). Ketika Jepang berkuasa pada 1942, orang Jerman di pulau tersebut dibebaskan. Setelah itu Onrust kurang difungsikan sehingga ditinggalkan (Mutholib dkk, 1996).
Onrust juga menjadi tempat transit bagi Kapten Raymond Westerling, sebelum diterbangkan ke luar Indonesia, kata Rosad dan Candrian. Tokoh itu merupakan aktor utama dalam pembunuhan massal penduduk di Sulawesi Selatan akhir tahun 1946 hingga awal 1947. Insiden itu lebih dikenal dengan sebutan "Peristiwa Korban 40.00 Jiwa". Kisah ini melangkapi arti kata Onrust sebagai tempat orang-orang yang pernah membuat onar di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H