Sudah 37 tahun Provinsi Lampung baru punya satu Pahlawan Nasional (PN), yakni Raden Intan. Namanya digunakan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Lampung. Apakah hanya dia, ulun Lampung, yang berjasa dalam perjuangan bangsa Indonesia? Bertolak dari kegelisahan itu, pada tahun 2015 pemerintah Lampung mengusulkan Gele Harun dan KH Ahmad Hanafiah sebagai calon PN, tetapi belum berhasil ditetapkan.
Enam tahun kemudian, pemerintah Kabupaten Lampung Timur bekerjasama dengan UIN Lampung (2022-2023) untuk meneliti dan menyiapkan naskah akademik (buku) tentang perjuangan KH Ahmad Hanafiah Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Buku itu melengkapi dua buku yang ditulis oleh Wan Jamaluddin (2018a, 2018b) dan sebuah buku karya Fauzie Nurdin (2018) tentang KH Ahmad Hanafiah.
Setelah melewati proses panjang, dari penelitian di Arsip Nasional RI, Perpustakaan Nasional RI, Pusat Sejarah TNI, dan Perpusda Lampung, lalu seminar nasional di UIN Lampung, penilaian oleh TP2GD (Dinas Sosial Provinsi), TP2GP (Kementerian Sosial RI), dan Dewan Gelar Nasional (DGN), pada akhirnya ulama heroik itu ditetapkan oleh Presiden RI sebagai Pahlawan Nasional. Proses ini menunjukkan bahwa penetapan PN merupakan keputusan politik berdasarkan hasil penelitian sejarah. Â Â
Setelah ditetapkan sebagai PN, rakyat Lampung tentunya senang karena punya satu PN lagi. Namun mereka juga perlu tahu siapa dan apa jasa ulama tersebut bagi usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Sumatra bagian Selatan pada masa revolusi.
Ahmad Hanafiah lahir di Sukadana tahun 1905. Ayahnya KH Muhammad Nur dan ibunya Khadijah Ahmad Nurrasib. Setelah tamat Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Sukadana (1916), ia melanjutkan studi di Jamiatul Khair Batavia (1916-1919) dan kembali mengajar di pesantren Al-Iqtishodiyah (1920-1925) di kampungnya. Â Â
Hanafiah mengikuti jejak pendahulunya. Ayahnya pernah belajar di Makkah selama sepuluh tahun. Begitu juga kakeknya, KH. Abdul Halim, belajar di sana pada akhir abad ke-19. Dalam perjalanan menuju Makkah, Hanafiah belajar di pesantren Kelantan Malaysia (1925-1930) dan Gujarat India. Enam tahun ia belajar di Makkah (1930-1936). Â
Hanafiah sangat tekun membaca, menganalisa, dan mengolah kitab-kitab agama Islam di Makkah. Ia berhasil menyusun dua naskah, Sirr al-Dahr (terbit 1355 H/1936 M) dan al-Hujjah (1356 H/1937 M), yang ditulis dengan aksara Jawi berbahasa Melayu. Dua naskah itu terbit di Batavia. Dua kitab itu, selain ratusan kitab yang dibawanya dari Makkah, menjadi pedoman saat berdakwah selama 10 tahun di Lampung (1937-1947).
Pejuang Sejati
Selain pembelajar, Hanafiah merupakan aktivis dan pejuang sejati. Duta tahun sebelum pulang ke Tanah Air, ia menjadi Ketua Himpunan Pelajar Islam Lampung Makkah Arab Saudi (1934-1936). Setibanya di Lampung, ia bergabung dan memimpin Sarekat Islam (SI), Nahdatul Ulama (NU), Masyumi, dan laskar Hisbullah di Kewedanan Sukadana (1937-1946). Pada akhir tahun 1945 hingga 1946, ia tercatat sebagai Ketua KNID Sukadana.
Ketika hubungan Indonesia dan Belanda semakin memanas awal tahun 1947, Hanafiah hijrah ke Tanjung Karang. Dia mendapat kepercayaan dari pemerintah Keresidenan Lampung sebagai wakil kepala kantor sekaligus kepala bagian Islam di Jawatan Agama Keresidenan Lampung. Dengan posisi dan peran itu, Hanafiah banyak berjibaku dengan urusan kemasyarakatan dan pemerintahan, serta mudah mengetahui situasi politik di Tanah Air. Â
Lampung menjadi pintu gerbang perjuangan kemerdekaan di Sumatera. Satu bulan sebelum Agresi Militer I, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan rombongan tiba di Pelabuhan Panjang pada 3 Juni 1947. Ia disambut oleh Gubernur Sumatera Mr. Teuku Muhammad Hasan dan Gubernur Muda Sumatera Selatan Dr. Moh. Isa. Selama tiga hari Hatta berkeliling Lampung mengobarkan semangat juang kepada para pejuang dan rakyat setempat. Lalu, Hatta dan rombongan ke Palembang menggunakan kereta api. Di sana mereka mendatangi daerah-daerah sekitar kota Palembang, selanjutnya ke Jambi dan Sumatera Barat dengan tujuan yang sama (Hatta, 2011).
Pada bulan berikutnya, daerah-daerah yang dikunjungi Hatta menjadi sasaran Agresi Militer Belanda I. Agresi dimulai pada 21 Juli 1947, ketika umat Islam sedang menunaikan ibadah puasa Ramadhan. Agresi itu ditujukan kepada wilayah RI (hasil perjanjian Linggajati) yaitu Jawa, Madura, dan Sumatera. Daerah yang dituju terutama yang memiliki potensi minyak bumi dan tempat perusahan-perusahaan milik Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat di Sumatera bagian Selatan. Belanda menyebut peristiwa ini sebagai Operatie Product di bawah komando Batalyon Diviezen (Zed, 2003).
Melihat wilayah Republik direbut paksa oleh Belanda, Hanafiah terpanggil berjihad untuk membela Tanah Air, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: "dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas" (QS. Al-Baqarah: 190).
Ketua partai Masjumi, KH Hasjim Asj'ari, mengeluarkan sebuah fatwa, bahwa "haram bagi umat Islam Indonesia meninggalkan tanah air dalam keadaan musuh menyerang untuk menjajah dan merusak agama. Karena itu tidak wajib pergi haji di mana berlaku fardu 'ain bagi umat Islam dalam melakukan perang melawan penjajahan bangsa dan agama". Ulama Mesir Abdul Madjid Selim, menanggapi pertanyaan pelajar Islam Indonesia di Kairo tentang hukum berhaji di masa perang, mengatakan "suatu pekerjaan yang mendatangkan lebih besar kerusakan daripada faedahnya, maka perbuatan itu dilarang oleh Islam. Pemimpin tentara atau penjaga negeri pun tidak boleh naik haji kalau kepergiannya dapat menyebabkan kemenangan musuh atau kekacauan negerinya".
Apa yang dilakukan oleh Hanafiah menunjukkan perjumpaan yang sempurna antara kesadaran keagamaan dan semangat nasionalisme yang tinggi dari ulun Lampung yang tercerahkan. Ia rela meninggalkan keluarganya demi membela Tanah Air. Pada bulan Ramadhan 1336 H, ia dua kali memimpin ratusan laskar dari Lampung merebut Baturaja dari Belanda. Pada penyerangan kedua (Agustus 1947), mereka terkepung di Kemarung. Hanafiah ditangkap oleh pasukan Belanda lalu dihukum dengan ditenggelamkan ke dalam Sungai Ogan Baturaja hingga jasadnya tidak ditemukan. Â Â Â
Berkat jasa dan pengorbanannya yang luar biasa itu bagi masa depan Republik yang masih "bayi" (lahir tahun 1945), maka sudah sepantasnya ia mendapat gelar tanda jasa sebagai Pahlawan Nasional yang kedua dari Lampung, setelah Raden Intan. Â Â
Bagi UIN Lampung sebagai pihak peneliti, penyusun naskah akademik, dan pengusul, penetapan KH Ahmad Hanafiah sebagai PN bulan ini menjadi kado istimewa ketika merayakan dies natalis ke-55. The Green Campus ini tidak hanya telah menggunakan nama PN pertama, tetapi juga berjasa melahirkan PN kedua bagi Provinsi Lampung.
Setelah penetapan ini, apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah Provinsi Lampung? Pertanyaan ini perlu dijawab dengan langkah nyata.
Penulis merupakan anggota tim peneliti dan penulis naskah akademik usulan calon Pahlawan Nasional Lampung, KH Ahmad Hanafiah (1905-1947), pada tahun 2022-2023. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H