Pada intinya adalah bahwa berhaji dilarang bagi umat Islam Indonesia karena sedang menghadapi ancaman Belanda yang ingin berkuasa kembali di Tanah Air pasca proklamasi. Menyikapi kondisi ini, pada tahun 1947 KH. Hasjim Asj'ari (ketua partai Masjumi) mengeluarkan fatwa bahwa:Â
"Haram bagi umat Islam Indonesia meninggalkan tanah air dalam keadaan musuh menyerang untuk menjajah dan merusak agama. Karena itu tidak wajib pergi haji di mana berlaku fardu 'ain bagi umat Islam dalam melakukan perang melawan penjajahan bangsa dan agama".Â
Fatwa ini disiarkan secara luas oleh Kementerian Agama (Chambert-Loir, 2019, p. 72; lihat juga Fogg, 2020, p. 112).
Larangan berhaji ke Mekkah tidak hanya dari Masjumi, tetapi juga Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV Kalimantan Selatan. Kesatuan ini tidak suka dengan rakyat yang pergi ke pemerintahan Belanda untuk minta surat izin atau bantuan lain kecuali dalam hal-hal yang mutlak perlu. Prajurit ALRI mengancam setiap orang yang ingin pergi naik haji ke Mekkah, karena untuk itu diperlukan izin Belanda. Mereka yang naik haji ini hanya akan digunakan Belanda untuk tujuan propaganda (Van Dijk, 1995, p. 215).
Kajian Faturrahman ini menemukan bahwa larangan berhaji itu tidak berlaku di wilayah Indonesia Timur pada era revolusi, karena di sana masih kuat pengaruh Belanda. Bahkan, pemerinahnya memfasilitasi pengiriman jamaah haji ke Mekkah pada 1947-1950 menggunakan kapal-kapal Belanda dari tiga perusahaan pelayaran atau Kongsi Tiga yaitu: Netherland, Rotterdamsche Lloyd, dan Ocean Maatschappij (Putuhena, 2007, p. 175; lihat juga Madjid, 2008, pp. 62--69).
Menurut Faturrahman, kegagalan fatwa larangan berhaji di Sulawesi Selatan disebabkan oleh beberapa faktor berikut: pertama, seruan haram menggunakan kapal Belanda untuk berhaji tidak dilakukan oleh anak/pejuang daerah, seperti di Jawa oleh KH Hasjim Asy'ari dan ALRI Kalimantan Selatan, melainkan dilakukan secara berantai; kedua, tindakan tegas Gewestelijke Recherche terhadap orang-orang yang menyebarkan fatwa tersebut kepada umat Islam; ketiga, trauma pembantaian penduduk secara massal oleh pasukan Westerling pada akhir 1946 sampai awal 1947; keempat, animo yang tinggi dari umat Islam untuk menunaikan ibadah haji; kelima, penerimaan pemerintah Arab Saudi terhadap semua jamaah haji dari Indonesia; keenam, dukungan pemerintah NIT. Calon jamaah haji dari pedalaman diangkut dengan mobil pemerintah lalu dibawa ke pelabuhan Makassar. Dukungan ini tidak lepas dari andil haji sebagai sumber pendapatan bagi NIT.
Jamaah haji yang bertolak dari pelabuhan Makassar berasal dari enam kluster haji Indonesia Timur yaitu: (1) Sulawesi Selatan, (1) Bali dan Lombok, (3) Timor, Sumbawa, dan Flores, (4) Sangir, Talaud, Minahasa, Sulawesi Utara dan Tengah, (5) Maluku Utara, dan (6) Maluku Selatan. Dari enam daerah itu, jumlah jamaah yang paling banyak adalah dari Sulawesi Selatan. Ambil contoh, dari quota haji 16.400 pada 1948, ada 52 persen jamaah dari Sulawesi Selatan. Minat berhaji umat Islam Sulawesi Selatan sangat tinggi yang membuat pemerintah kemudian memberangkatkan jumlah jamaah haji melampaui quotanya.
Apa yang terjadi di Indonesia Timur dalam pemberangkatan jamaah haji ke Mekkah berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Kondisi ini membuat umat Islam di Indonesia Timur berpikir bahwa pemerintah telah mengakomodir keinginan mereka untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Selain itu, pemerintahan NIT dijalankan oleh putra-putra daerah. Semua itu menjadi faktor pendukung kelangsungan NIT yang lebih lama dari semua negara bagian yang dibentuk dan dibubarkan pada 1946-1950.
Perbedaan pengalaman umat Islam di Indonesia pada masa revolusi, khususnya Indonesia Timur, merupakan sumbangan penting dari buku Faturrahman ini untuk memperkaya khasanah historiografi Islam Indonesia. Karya ini patut dibaca oleh siapa pun yang berminat pada rihlah ibadah haji di Tanah Air. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H