Pada seri diskusi (ke-12) Tanah Air: The Malay Maritime Civilisation Project, yang diprakarsai Prof. Dato Dr. Ahmad Murad Merican (Profesor Sejarah Sosial dan Intelektual, sekaligus Ketua Unit Tamaddun Melayu-Islam, Universitas Antarbangsa Malaysia), pada 23 Februari 2023 secara daring, penulis menyajikan materi tentang "Pasang Surut Jaringan Maritim Mandar di Selat Makassar dalam abad ke-20". Acara ini berlangsung selama hampir dua jam.
       Sejarah maritim Mandar selama ini terbaikan karena berada dalam bayang-bayang Bugis dan Makassar. Padahal, Mandar adalah salah satu etnis mayoritas di Provinsi Sulawesi Barat. Wilayahnya dibasahi oleh perairan Selat Makassar. Kalau Pulau Sulawesi dilihat seperti orang yang menghadap ke Timur, dengan posisi tangan dan satu kaki menjulur ke depan, maka pemukiman Mandar berada di punggung pulau tersebut.
       Kekurangan pengetahuan, kalau tak mau dikatakan tidak diketahui, mengenai Mandar mewarnai suasana diskusi ini, dimulai dari pertanyaan Prof. Murad selaku moderator sampai pertanyaan peserta di kolom chat youtube ISTAC TV yang menyiarkan langsung kuliah tersebut.
Di antara komentator ada yang menanyakan mengenai penanda khusus etnis Mandar. Penulis menjawab, bahwa hal yang paling mudah dikenal ialah bahasa yang digunakan oleh orang Mandar, yakni bahasa Mandar. Bahasa ini berbeda dengan bahasa Makassar dan Bugis.
Namun, bila kita cermati pada jenis perahu yang diproduksi dan digunakan oleh orang Mandar, maka kita akan sulit membedakannya dengan perahu yang dipakai oleh Makassar dan Bugis. Semua etnik tersebut menggunakan perahu padewakang dan palari dalam pelayaran niaga lintas selat dan laut di Nusantara.
Salah satu perahu khas Mandar ialah perahu (papan) Baqgo dan perahu (lesung) Sandeq. Â Selain perahu tersebut, jenis perahu lain yang pernah digunakan pelaut Mandar adalah lambo, yang dikenang oleh pelaut Mandar sebagai perahu khas Buton, dan perahu lete-lete yang mirip dengan perahu Madura.
Kesamaan jenis perahu yang digunakan itu menunjukkan bahwa dunia bahari sangat terbuka. Para pelautnya mudah menerima, mengadaptasi, dan meniru teknologi perahu etnik lain. Ini adalah sesuatu yang lumrah.
Bagi pelaut, yang terpenting ialah kemudahan dan fungsinya sebagai alat transportasi niaga ramah lingkungan yang bertumpu pada kekuatan tenaga angin.
Pemikiran Ibnu KhaldunÂ
       Dalam menjelaskan faktor-faktor kondisional tumbuh dan kembangnya budaya bahari Mandar, penulis menggunakan teori/pendekatan dari sejarawan Prancis, Fernand Braudel, yang menempatkan faktor geografis sebagai wadah utama yang bergerak dalam tempo sangat lama (long dure) dalam sejarah umat manusia.
       Letak pemukiman Mandar di sisi barat Pulau Sulawesi, atau bagian timur Selat Makassar, memungkinkan mereka sejak awal dapat melihat, mengenal, dan mengarungi selat. Tak heran, dalam ingatan kolektif mereka, dikenal sebutan Passala' yakni orang yang berlayar di selat atau melintasi selat. Sebutan ini menunjukkan betapa penting faktor geografis membentuk ingatan kolektif suku bangsa bahari Mandar. Â
       Dalam sesi diskusi, Prof. Merican menyitir argumen sejarawan muslim paling terkemuka, yakni Ibnu Khaldun, bahwa faktor iklim sangat besar pengaruhnya terhadap karakter dan sejarah umat manusia.
       Komentar tersebut merangsang penulis untuk membaca Muqaddimah karya Ibu Khaldun. Pada bagian ke-4 dari kitab itu, ia menulis bahwa iklim sangat besar pengaruhnya terhadap karakter manusia.
Keterbukaan orang Mandar dalam menggunakan aneka jenis perahu dari sukubangsa bahari lain, terutama Lambo (Buton) dan Letelete (Madura), tak lepas dari faktor perairan laut yang membasahi pemukiman mereka.
Pada masyarakat bahari, sejauh studi yang penulis lakukan selama ini, terdapat kecenderung lebih terbuka dibandingkan masyarakat agraris. Itu dibentuk oleh cara pandang dan akses mereka terhadap Tanah atau Air.
Orang yang bergiat di sektor petanahan, baik sebagai petani atau pekebun, cenderung tertutup, karena mereka mamandang bahwa tanah adalah sumber daya alam yang dapat dimiliki sehingga ia harus dijaga pada kondisi dan dengan cara apa pun.
Sementara, orang yang bekerja di sektor kelautan, sebagai nelayan atau pedagang maritim, memandang tidak dapat memiliki Laut, sehingga mereka paling banter dapat memanfaatkan sumber daya Air secara efektif. Pandangan ini membentuk karakter pelaut yang lebih terbuka terhadap orang lain dan pemikiran baru. Mereka mudah menyerap dan mengadaptasi teknologi bahari yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi dan kelompoknya. Â
Pemikiran Ibnu Khaldun dapat digunakan untuk memahami tingkat solidaritas pelaut Mandar. Â
      Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H