Setelah menyelesaikan pendidikan doktor di Universitas Indonesia (UI), saya semakin yakin bahwa Allah SWT telah menggerakan hati dan tangan orang-orang yang baik untuk memudahkan proses studi saya.
Pada bulan Mei 2013, saya mengikuti seleksi masuk UI, bersama dengan sahabat saya, Abd. Rahman (dosen sejarah Unhaer Ternate), di kampus Depok, tepatnya Gedung C lantai III Fakultas Hukum.
Kami menginap di rumah keluarga saya, Jais Salisu, di Sawangan Depok. Setelah ujian kami balik. Saya ke Makassar dan dia ke Ternate.Â
Setelah ada pengumuman, hati saya sangat gembira. "Selamat, Anda dinyatakan LULUS", kira-kira begitu pesan yang saya terima via e-mail. Betapa tidak, kata sebagian orang yang pernah mencoba, tidak mudah lulus masuk kuliah di UI. Alhamdullah.
Segera setelah pengumuman, semangat saya untuk kuliah di kampus yang sangat saya impikan sejak kuliah S1 (2000-2004) perlahan mulai pudar. Bukan karena saya tidak mau lanjut studi, tapi kendala biaya yang harus saya bayar saat itu hampir dua puluh juta rupiah. Saya tidak punya cukup dana, sebahagian pun tidak, untuk melunasi biaya awal studi.
Kawan saya, Eman, begitu sapaan akrab dari Abd.Rahman, sudah melunasi biaya tersebut. Sering kali dia menepon saya untuk memastikan apakah saya sudah positif ikut kuliah, dengan membayar semua biaya awal studi. Ketika segala upaya telah ditempuh dan belum ada tanda-tanda dapat biaya studi, saya katakan pada Eman bahwa kemungkinan saya tidak bisa melanjutkan studi di UI.
Pada satu kesempatan, saya mendapat telpon dari pembimbing S2 saya, (Prof) Dr. A. Rasyid Asba, dari Jurusan Ilmu Sejarah Unhas. Begini kira-kira kalimatnya "Man, kamu bisa bantu penelitian saya. Kalau mau, datang ke kampus besok ya, kita rapat". Tanpa berpikir lama, saya langsung menerima tawaran itu. Betapa tidak, beliau sangat mudah membantu saya pada masa studi dan pasca studi ketika menjadi dosen luar biasa di Unhas kala itu (2008-2013). Sebelumnya, saya membantu beliau dalam dua riset untuk Kabupaten Barru (Perlawanan La Patau dan Sejarah Kerajaan Nepo) serta penelitian Sejarah Kota Tual.
Pada esok hari, pagi-pagi saya sudah ke kampus untuk menghadiri rapat bersama Tim di PSKM Unhas. Saya dan Ilham Daeng Makello sebagai pendamping beliau.
Pada rapat itu, baru saya tahu bahwa kami akan riset di Kabupaten Halmahera Utara (Maluku Utara) dan Boven Digul (Papua Barat). Di lokasi riset pertama, saya dapat melihat langsung negeri Tobelo, yang banyak saya tahu saat belajar sejarah maritim. Sedangkan daerah yang kedua, juga mudah saya ingat, karena di situlah tokoh-tokoh pergerakan nasional pernah diasingkan oleh Belanda, di antaranya adalah Bung Hatta (sang proklamator).
Setelah rapat, kami diberikan biaya perjalanan dan honor awal, sebelum ke lokasi riset. Saya tidak ingat dengan baik, apakah kami ke Harmahera dulu atau ke Boven Digul. Jelasnya, setelah mendapat dana itu, saya langsung singgah di Bank BNI Kancab Unhas Tamalanrea untuk melunasi biaya kuliah, dan sisanya saya bawa pulang ke rumah. Alhamdulillah, dalam hati saya berkata, "saya sudah bisa kuliah di UI".
Kisah di atas menjadi awal bagi saya tidak percaya dengan Mitos Kuliah, seperti yang sering saya dengar dari orang lain.
Ternyata, Allah SWT melapangkan jalan bagi saya untuk belajar di Universitas Indonesia. Kesempatan itu sekaligus mewujudkan mimpi ayah dan ibu saya untuk menyekolahkan anak pertama mereka di Jakarta (lokasi pertama kampus UI, sebelum pindah ke Depok)
Depok Selasa, 29 Januari 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H