Tidak ada peristiwa yang paling besar pengaruhnya terhadap migrasi orang Mandar ke luar daerahnya, kecuali pembakaran kampung-kampung pada 1956-1957 akibat perebutan kuasa antara tentara dan gerombolan. Â Â Â
Peristiwa tersebut dilukiskan dalam sebuah lagu populer Mandar, Diwattu Tallobena, karya Andi Syaiful Sinrang akhir tahun 1950-an, seperti dua bait syair berikut:
Kurru’ tori’ kaputtaÂ
Lo’bemi nande api
Kasi’na pabanua
Lamba sisara-sara
Duh kasihan kampung kita
Habis dibumihanguskan
Kasihan warga
Tunggang-langgang tercerai-berai
Mua’ dingarang bomi
Disoala-olata
Ra’da uwai mata
Ma’ingarang kapputta
Bila (kita) kembali teringat
Di waktu kita bersama
Jatuh air mata
Mengenang kampung halaman
(Terj. Dahri Dahlan, 2016)
Lagu ini sangat berkesan sehingga orang yang melantunkannya mudah terbawa emosi sampai menangis, seperti dialami oleh Pak Sudarmi (mantan ketua DPRD Majene) saat penulis wawancara (18/02/2017) di Pamboang. Betapa tidak, dia melihat rumah-rumah dilahap habis oleh si jago merah pada dini hari 5 Januari 1957. Pada tengah malam, warga berjalan kaki dari Pamboang menuju Kota Majene. Di sana mereka mendapat perlindungan keamanan dan kebutuhan sehari-hari dari pemerintah.
Tampaknya, sebelum kampung-kampung dibakar, sebagian masyarakat sudah mengetahui kabar bahwa akan terjadi pembakaran kampung. Informasi itu datang dari masyarakat setempat yang pindah ke pedalaman di bawah pengaruh gerombolan. Karena itu, masyarakat pesisir, yang dalam pengaruh tentara, tidak ingin menjadi korban. Mereka segera meninggalkan Mandar.
Seorang saksi sejarah, Jamaruddin (77 tahun) pada saat itu kelas 3 SD Bababulo, bersama kerabat dan penduduk lain pindah ke Pulau Kerasian. Mereka berlayar dengan perahu lete (18 ton), yang datang dari Teluk Kemuning. Tidak kurang 60 orang ikut dalam perahu tersebut. Jangka waktu pelayaran selama dua hari. Mereka memilih Kerasian karena di sana sudah ada orang Mandar yang menetap sejak paruh pertama abad ke-20.
Gelombang besar migrasi Mandar ke Kalimantan Selatan setelah kampung-kampung dibakar awal tahun 1957. Di antara saksinya adalah M. Said yang saat itu masih kelas 4 SD. Ia bersama dengan penduduk lain berjalan kaki menyisir pantai Bababulo ke Majene. Setelah tiga bulan tinggal di Majene, mereka pindah ke Kerasian dengan perahu lete Bintang Terbit (8 ton) milik H. Saenong di bawah nakhoda Muh. Amir. Â Â
Pengungsian ke luar Mandar terjadi karena kondisi Kota Majene tidak kondusif untuk bertahan hidup. Banyak pengungsi datang di kota kecil itu. Sementara kebutuhan sehari-hari penduduk sudah diblokade oleh gerombolan. Penduduk pedalaman dilarang membawa hasil kebun ke kota, dan sebaliknya penduduk pesisir bertindak keras terhadap orang kota yang berusaha mengambil hasi kebunnya di pedalaman. Lalu, kapal-kapal yang membawa bantuan pemerintah tiba dari Makassar dengan frekuensi tiba-berangkat hanya sekali atau dua kali sebulan.
Perpindahan penduduk ke luar Mandar merupakan pilihan paling rasional untuk bertahan hidup. Selain ke Kalimantan Selatan, orang Mandar pindah dan menetap di Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Pangkajene Kepulauan, Parepare, Makassar, dan Jawa Timur.
Setelah tiba di tempat tujuan, mereka terus melanjutkan budaya baharinya. Mereka giat membangun kembali jaringan Mandar di Selat Makassar dan Laut Jawa. Supaya anak-anak mereka tidak lupa tanah leluhur, maka setelah tamat SD mereka dibawa untuk melanjutkan sekolah di Mandar.
Â
Tulisan ini diolah dari hasil riset kolaboratif Dosen Sejarah UIN Lampung dengan Tim Peneliti BRIN tahun 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H