Mohon tunggu...
Abdoel Shomad Kaffa
Abdoel Shomad Kaffa Mohon Tunggu... -

Melanjutkan s-2 di Universitas Indonesia (2007) dengan konsentrasi Kebijakan Publik. Sarjana s-1 diselesaikan di IAIN (sekarang UIN) Jakarta. \r\n\r\nPernah menjadi Wakil Presiden BEM UIN Jakarta (1999-2000), Sekretaris Umum HMI Cab Ciputat (2000-2001) dan Sekretaris Jenderal Persatuan Mahasiswa Bekasi (PERMASI) Jakarta (1998-1999).\r\n\r\nSaat ini menjadi Jurnalis, Konsultan Media dan Pemerhati Kebijakan Publik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

2009, Tahun Narsis Politisi

18 September 2010   00:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:10 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kata narsis sudah sangat akrab di kalangan anak muda. Kini, (mungkin sadar dan tidak) para politisi justru telah mempraktekkannya.

LIHAT saja konten spanduk dan baliho milik calon legislatif yang dipajang di jalan-jalan utama, dan bahkan hingga pelosok-pelosok desa. Narsis. Seolah-olah, dengan memilih mereka, problematika Indonesia, mulai dari kemiskinan, pengangguran, kolusi korupsi dan nepotisme dan masalah-masalah lain akan terselesaikan.

Ada banyak contoh kalimat narsis yang dipampang di baliho, spanduk dan media-media cetak. Misalnya saja, seorang anggota DPR/DPRD/DPD yang kini mencalonkan diri kembali mengusung kalimat “Setelah Teruji, Pilih Kembali. Mengabdi untuk Rakyat. Pilih Mega Sembako Murah, dan kalimat-kalimat lainnya.

Sesungguhnya tidak (benar) juga. Apa yang dituliskan di atas spanduk dan baliho merupakan kalimat yang hiperbola. Kata atau kalimat yang dilebih-lebihkan dan cenderung tidak sesuai dengan fakta dan realitas. Mana mungkin satu orang caleg bisa menyelesaikan semua persoalan. Bagaimana mungkin pula, satu orang caleg bisa memahami secara objektif permasalahan 438 daerah otonom (kabupaten/kota) di Indonesia. Sulit dinalar akal sehat. Lagi-lagi, narsis.

Itulah tindakan narsis yang dipraktekkan para politisi. Masih beruntung anak muda yang cuma bernarsis diri pada lingkungan pergaulan saja. Tapi para caleg itu, bernarsis ria untuk mendapatkan simpati masyarakat pada ruang publik yang sangat luas. Konten spanduk dan baliho para caleg dari ratusan partai politik tersebut terlalu mengagungkan, memuja, dan bahkan (cenderung) menyombongkan diri sendiri. Inilah tahun narsis para politisi.

Mitologi Yunani

Kata narsis merupakan personafikasi dari seorang tokoh dalam mitologi Yunani, bernama Narcissus. Alkisah, Narcissus adalah seorang dewa yang memiliki wajah sangat tampan. Dia adalah anak dari dewa sungai, Cephissus. Ibunya seorang bidadari bernama Liriope.

Ketampanan Narcissus membuat banyak orang jatuh cinta kepadanya. Salah satunya adalah bidadari bernama Echo. Namun tidak seorang pun yang dibalas cintanya oleh Narcissus. Demikian pula Echo. Echo hidup dalam kesendirian dan kesedihannya. Hingga suatu hari, Dewi Nemmesis mendengar doa Echo. Nemessis terharu dan mengabulkan doa Nemessis dengan mengutuk Narcissus jatuh cinta kepada bayangannya sendiri.

Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Ketika Narcissus melihat bayangan dirinya di sebuah kolam, dia tidak henti-hentinya mengagumi sosok yang terlihat dari pantulan air di kolam itu. Sejak saat itu hingga akhir hayatnya, Narcissus terus memandangi bayangan dirinya tersebut. Dia sangat mengangungkan dirinya sendiri.

Spanduk dan baliho yang terpampang di mana-mana itu, rasa-rasanya narsis juga. Kata-kata dan kalimat yang digunakan menunjukkan keagungan, ke-maha-an diri para caleg itu sendiri. Akibatnya, tak jarang mereka yang tidak terpilih, sebelumnya merasa sangat pantas untuk dipilih karena narsis itu, kejiwaannya menjadi terganggu. Banyak caleg yang tidak terpilih menjadi stress.

Mesti Berbayar

Sebagai homo economicus (makhluk ekonomi), para caleg yang jumlahnya ribuan itu tentu berpikir “rasional.Para caleg akan memenuhi kebutuhannya masing-masing (self interest) untuk memenangkan kontes demokrasi pada 9 April 2009. Bahkan pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penetapan caleg berdasarkan suara terbanyak, persaingan di antara caleg bukan saja terjadi di eksternal parpol, tapi juga internal parpol mereka sendiri.

Karena itu, sangat jelas dan benderang, bahwa apapun yang dituliskan di atas spanduk dan baliho oleh para politisi yang menjadi calon legislatif itu, ada nilai ekonominya. Pecayalah, bila ada orang yang membuat roti, bukan karena dia ingin membagikan roti itu secara gratis kepada mereka yang lapar, tapi ada motivasi ekonomi di sana. Begitupun dalam konteks pesta demokrasi 2009 ini. “There's no such thing as a free lunch.” Tak ada yang gratis di dunia ini.

Konotasi bayaran jangan dibayangkan hanya sebagai pertukaran uang dari pemilih kepada caleg dan sebaliknya. Lebih luas lagi, bayaran adalah transactions cost. Dalam teori kebijakan publik, transactions cost bisa berbentuk apa saja; uang, cendramata, jabatan/posisi, tenaga, proyek, kehormatan/penghargaan dan lain-lain. Apapun barang dan jasa yang disediakan pasti harusberbayar.

Nah, kalimat-kalimat narsis yang diguratkan para caleg di spanduk, baliho dan media kampanye lainnya, juga berujung sama. Ada transactions cost yang harus dibayar. Yaitu kekuasaan, jabatan sebagai anggota DPR/DPRD dan DPD. Untuk itulah, kalapun harus berbayar, bayarlah ‘barang’ itu dengan harga yang pantas. Jangan pernah membeli, termasuk mencontreng calon legislatif tanpa terlebih dulu mengenal dengan baik. *** (Tulisan ini ditulis pada 2009, terinspirasi banyaknya spanduk dan baliho para caleg).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun