Mohon tunggu...
Abdi Husairi Nasution
Abdi Husairi Nasution Mohon Tunggu... Editor - Penulis lepas, filatelis, numismatis, serta penggiat lari dan sepeda.

Menulis membuat saya terus belajar tentang segala hal dan melatih kepekaan terhadap lingkungan sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pusaran Air, Analogi Masalah Bangsa yang Pas

25 Maret 2011   00:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:28 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak vonis Gayus, tak ada lagi sensasi mafia pajak yang menjadi pusat perhatian. Demikian pula dengan Century, kelanjutan kasus ini terus berputar tak berujung pangkal. Uang 6,7 triliun pun terkungkung misteri. Penegakan hukum juga demikian, setali tiga uang. Hukum yang ditegakkan belum menyentuh pelaku-pelaku utama yang menjadi dalang sebenarnya. Century pun menjadi misteri yang tak terpecahkan. Pusaran pun makin melebar dan akan terus melebar, seperti pusaran air yang siap menelan semua.

Masalah bangsa ini bagai pusaran air, tak punya ujung-pangkal, terus berputar membawa rakyatnya ke pusaran yang tak bisa berhenti dan makin dalam. Parahnya, pusaran air itu juga bergelombang, sehingga mengombang-ambing rakyatnya. Tadinya, pusaran itu cuma setitik, kemudian dua titik, tiga titik, empat titik, hingga akhirnya membentuk satu lingkaran yang terus berputar. Lingkaran itu pun terus mengganda hingga membentuk beberapa lingkaran. Akhirnya terbentuklah pusaran air dan rakyat pun semakin tenggelam dalam pusaran itu. Tadinya, pusaran itu berawal dari satu titik permasalahan, lumpur Lapindo dapat disebut sebagai salah satu titik dari permasalahan itu. Saat sedang ngetrend, semua media menyinggung masalah Lapindo. Media pun berebut menjadikan lumpur Lapindo  sebagai berita terkini mereka. Kini, tak satupun media menganggap hal itu sebagai berita penting lagi. Lumpur Lapindo pun tergerus oleh masalah lain. Padahal, korban Lapindo masih butuh perhatian. Kalau disurvey dan diteliti, barangkali korban Lapindo sudah banyak yang stress dan gila karena harus kehilangan tempat tinggal, tempat usaha, dan tempat kerja. Sudahkah hal itu dievaluasi dan dikaji mengenai dampaknya oleh pemerintah?Apakah muncratan lumpur itu berhasil dikendalikan atau tidak? Tak ada lagi yang tahu, termasuk saya. Apa usaha pemerintah untuk mengatasi lumpur itu, tak ada lagi yang menggubris. Lapindo pun terlupakan. Belum selesai Lapindo, datang lagi masalah lain yang cukup menarik perhatian. Mafia pajak, mafia hukum, mafia peradilan, dan mafia-mafia lainnya merupakan beberapa masalah  yang muncul dan banyak dibicarakan. Lingkaran masalah pun terus terbentuk membentuk pusaran.

Sejak vonis Gayus, tak ada lagi sensasi mafia pajak yang menjadi pusat perhatian. Demikian pula dengan Century, kelanjutan kasus ini terus berputar tak berujung pangkal. Uang 6,7 triliun pun terkungkung misteri. Penegakan hukum juga demikian, setali tiga uang. Hukum yang ditegakkan belum menyentuh pelaku-pelaku utama yang menjadi dalang sebenarnya. Century pun menjadi misteri yang tak terpecahkan. Pusaran pun makin melebar dan akan terus melebar, seperti pusaran air yang siap menelan semua.

Belum selesai Lapindo, mafia pajak, Century, dan sebagainya, muncul lagi bom buku. Isu bom ini buat masyarakat jadi cemas bukan kepalang. Ancaman itu tak lagi ditujukan untuk massa, tapi mengancam orang per orang. Tak ada yang tahu siapa yang berbuat dan mendalangi bom buku. Kelompok garis keras yang biasa dituding teroris pun diam seribu bahasa. Belum habis bom buku, eh datang lagi isu kudeta. Isu terakhir ini yang buat saya tak habis pikir. Terlalu bodoh untuk mempercayai isu kudeta itu. Secara logika, pemerintah yang berkuasa tak mungkin dikudeta. Mereka masih mendapat dukungan kuat dari koalisi. Demikian pula dukungan militer. Aksi massa turun ke jalan pun tak mudah dilakukan karena dukungan pada pemerintah masih kuat. Apalagi masyarakat sudah terlanjur tak percaya pada proses reformasi. Padahal dulunya, rakyat sangat berharap banyak pada reformasi, khususnya untuk memperbaiki nasib mereka ke arah yang lebih baik ketimbang zaman Orde Baru dulu. Jadi, indikator-indikator yang saya sebutkan itu tak memungkinkan adanya kudeta. Kalau ada yang menyebut seorang oknum sebagai dalang kudeta, buat saya itu nonsens. Tak mungkin orang itu mampu melakukan kudeta di saat dukungan terhadap pemerintah masih sangat kuat. Jelas sudah, masalah-masalah yang dialami bangsa ini sudah seperti pusaran air yang membesar. Dan itu merupakan analogi yang pas. Titik klimaksnya, pusaran itu akan menenggelamkan kita, semuanya tanpa sisa. Tunggu saja waktunya, piiis. Sumber gambar: http://louisamayalcottismypassion.files.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun