Bagi sebagian orang, penutupan Dolly merupakan pelanggaran HAM karena memutus mata rantai penghasilan atau rezeki mereka yang tak bisa disediakan oleh penguasa atau pemerintah. Kalau pun mereka diberi pekerjaan pasca penutupan Dolly, tentu mereka juga bakal mikir dua kali, karena penghasilan yang mereka dapatkan di Dolly bisa melebihi gaji seorang manajer di perusahaan bonafid. Itulah sebabnya, mereka mati-matian menolak penutupan Dolly meski pemda Surabaya akan memberi mereka pekerjaan.
Namun, ada efek lain yang tak dipertimbangkan pasca penutupan Dolly, yaitu penyebaran HIV-AIDS dan penyakit kelamin lainnya menjadi tak terlokalisir dan bakal tak terkendali. Bahkan dampaknya menjadi lebih besar lagi. Para pekerja sex itu tentu akan menyebar mencari lahan baru buat profesi mereka. Seperti efek bola salju, bila tak dilokalisir, suatu saat jumlah penderita HIV-AIDS akan membumbung tinggi tak terkendali, dan itu akan menjadi hal yang mengejutkan di masa depan. Biar bagaimanapun, bisnis prostitusi tak akan pernah padam, sepanjang hasrat seksualitas manusia dikandung badan, kecuali kalau manusia-manusia itu dikebiri. Bisnis prostitusi tak ada matinya, dia sama tuanya dengan peradaban dunia.
Walau Dolly ditutup dan dibungkam, Dolly tak berhenti mendesah. Desahannya bakal berpindah tempat. Alumni-alumni Dolly bakal mencari tempat baru, yang bisa menerima mereka. Kalau sudah begitu, desahan Dolly sayup-sayup masih terdengar, dari kejauhan, dibawa oleh angin, uuuh ... aaahhh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H