Mohon tunggu...
Abdillah Syafei
Abdillah Syafei Mohon Tunggu... Guru - Da'i, Guru dan Peneliti

Menulis untuk belajar. Jadi saya bukan seorang Ilmuan, hanya manusia yg kepingin mengungkapkan isi hati supaya diketahui oleh orang lain untuk kemudian diperbaiki jika ada kesalahan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengapa Saya Ikut Berlebaran Selasa 30 Agustus 2011?

1 September 2011   18:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:18 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tulisan di bawah ini telah saya posting di blog pribadi saya pada hari selasa (30/8/ 2011), namun baru sempat saya "kirim" kembali ke Kompasiana hari ini (2/9/2011). Rencananya saat itu langsung saya posting ke dua blog saya yakni www.abahguru.com dan kompasiana sekaligus, namun karena keterbatasan waktu dan kesibukan memasuki Idul Fitri yang ke kompasiana agak terbelakang waktunya. Semoga nggak basi-basi amat.

Jika saya ikut berkeyakinan  bahwa Idul Fitri jatuh pada hari selasa 30 Agustus 2011, bukan karena saya mengikut Muhammadiyah yang menetapkan berdasarkan hisab. Saya termasuk yang mengikuti pendapat mayoritas ulama Ahlussunnah yang menentukan awal dan akhir Ramadhan dengan metode rukyatul hilal (melihat bulan). Adapun terjadinya kesamaan waktu dengan Muhammadiyah hanya semata karena dilihatnya Hilal oleh beberapa kaum muslimin di beberapa tempat di Indonesia.

Belum lagi jika dibandingkan dengan penetapan Idul Fitri yang dilakukan di beberapa Negara tetangga yang secara geografis tak jauh berbeda, bahkan sama dengan wilayah kita. Apalagi jika kita melihat negara-negara Arab. Sekedar untuk diketahui, di negara-negara Arab seperti Saudi Arabia, Mesir, Kuwait, Lebanon, Uni Emirat Arab, Qatar, Yordania dan Suriah mengumumkan 1 Syawwal 1432 H adalah Selasa, 30 Agustus 2011. (http://www.marawanews.com/liputan/di-mesir-1-syawal-pada-selasa-pemerintah-ri-menetapkan-rabu)

Menentukan awal dan akhir Ramadhan haruslah dilakukan dengan rkyatul hilal (melihat bulan) sebagaimana yang dilakukan jaman Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam. “Berpuasalah kalian karena melihat bulan, dan berhari rayalah kalian karena melihatnya.” (HR. Muslim)

Sedangkan jika taka da yang melihat bulan, maka disempurnakanlah Ramadhan menjadi 30 hari sebaaimana sabda Beliau: “Jika mendung telah menghalangi kalian, maka sempurnakanlah (genapkanlah) hitungan Sya’ban.” (HR. Muslim)

Jadi yang menjadi ukuran adalah terlihatnya hilal, bukan perhitungan (hisab). Meskipun hisab menyatakan telah masuk syawal, namun jika hilal belum terlihat tetap tak bisa diterima. Demikian pula sebaliknya.

Dalam Al-qur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Siapa saja di antara kalian yang menyaksikan bulan (hilal Ramadhan), maka hendaknya dia berpuasa.” (QS. Al-Baqarah [02]: 185)

Dalam kitab Bulughul Maram disebutkan: Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa ada seorang Arab Badui menghadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, lalu berkata: Sungguh aku telah melihat bulan sabit (tanggal satu). Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Ia berkata: Ya. Beliau bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah.” Ia menjawab: Ya. Beliau bersabda: “Umumkanlah pada orang-orang wahai Bilal, agar besok mereka berpuasa.” (Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, sesang Nasa’i menilainya mursal).

Hadits tersebut sangat jelas menceritakan bahwa Rasulullah hanya meminta seorang Arab Badui tersebut untuk mengucap syahadat. Beliau tidak mensyaratkan bahwa si Badui haruslah seorang yang ahli astronomi, mengerti perhitungan derajat posisi hilal dan lain sebagainya yang serba njlimet. Karena inti dari rukyah adalah terlihatnya hilal.

Kesaksian beberapa pemantau hilal, meskipun (konon) bukan dari lembaga resmi semestinya dijadikan masukan bagi pemerintah. Kenyataan bahwa lebih dari 90 titik pengamatan tak melihat hilal tak bisa dijadikan alasan untuk menolak persaksian seorang muslim. Apalagi ini lebih dari 3 orang dengan di bawah sumpah pula. Jika kita kembalikan ke hadits Nabi tadi, jelas bahwa pada saat si Badui melihat hilal, para sahabat Nabi yang lain juga memantau hilal, karena saat itu semua kaum muslimin menggunakan rukyah untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan. Sehingga meskipun banyak sahabat tidak melihat maka tetap penglihatan seorang Badui yang dipakai oleh Rasulullah.

Ada seorang kawan yang mengatakan bahwa yang 90 orang  lebih (petugas pemantau) itu lebih mutawatir daripada yang 3 orang. Ini jelas kekeliruan pemikiran dalam persoalan fiqih. Dalam konteks ini (rukyah) Nabi memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan rukyah tidak untuk kemudian mempertentangkan antara yang melihat dan yang tidak melihat, sangat tidak pada tempatnya jika jumlah dijadikan alasan untuk membatalkan penglihatan seseorang (apalagi ini 3 orang).

Dalam ushul fiqih kita mengenal qaidah “Al-mutsbit muqaddam alan naafi” (yang menyatakan ada didahulukan dari yang menafikan/menyatakan tak ada).

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rosul dan taatilah pemimpin (penguasa) diantara kalian, apabila kalian berselisih pendapat tentang segala sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rosul (As Sunnah) (QS:An-Nisa:59)

Nash kedua ini juga dengan tegas membantah syubhat yang dilontarkan oleh sebagian orang yang selalu menekankan agar kita mengikuti pemerintah. Seolah ketaatan kepada pemerintah itu dilakukan dengan membabi buta. Padahal jika kita berbeda pendapat tentang sesuatu kita diperintahkan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan Sunnah/hadits Nabi SAW menyatakan bahwa ketaatan hanya diberikan untuk hal-hal yang makruf dan tak boleh taat dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa  Ta’ala.

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)

Dalam hadits lain juga disebutkan: “Wajib bagi seseorang untuk mendengar dan taat dalam apa yang ia sukai dan benci, kecuali ia diperintah berbuat maksiat. Maka bila ia diperintah berbuat maksiat, ia tidak boleh mendengar dan taat.” (HR. Al-Bukhari no. 2955 dan Muslim no. 1839)

Jadi, ketika Pemerintah tak mengikuti sunnah Rasul dalam menyikapi rukyatul hilal yang ada, kita tak boleh mengikuti itu. Kita harus tetap berpegang dengan ketentuan kaidah syar’iyah. Apalagi dalam penentuan Idul Fitri ini sendiri pemerintah tidak memaksakan harus mengikutinya. Pemerintah memberikan kebebasan kepada ormas atau siapapun yang berbeda pendapat. Jadi sangat jauh panggang dari api jika hadits-hadits tentang ketaatan kepada penguasa dijadikan dalih untuk menolak persaksian kaum muslimin.

Intinya adalah apakah anda percaya apa tidak pada penglihatan mereka yang mengaku melihat hilal. Jika percaya, maka wajib berhari raya. Jika tak percaya atau menganggap bahwa mereka berbohong maka silahkan untuk tetap berpuasa dan menyempurnakan Ramadha menjadi 30 hari.

Okey, mungkin ada yang berkata: Saya tidak mengatakan bahwa mereka bohong, saya hanya meragukan, boleh jadi mereka tersalah lihat.  Maka kita harus kembalikan kepada kaidah ushul yang mengatakan “Maa  tsabata bil yaqin laa yujalu bis syak” Apa yang telah terukti dengan yakin tak bias dihapuskan oleh persangkaan. Mereka yang mengaku melihat hilal telah merasa sangat yakin hingga bersedia disumpah, sementara anda yang meragukannya hanya berdasa persangkaan yang dituangkan dengan kalimat “boleh jadi”.

Demikian sekedar menjelaskan argument atas pilihan saya untuk ikut berlebaran tangal 30 agustus 2011. Tulisan ini bukan dimaksud untuk menghujat dan melecehkan pendapat dan keyakinan orang lain. Juga bukan ingin membuka front perdebatan. Melainkan semata-mata agar para sahabat, murid, guru dan kerabat yang tak sependapat bisa memahami alasan saya. Jikapun argumen saya salah, mohon nashihat yang lembut dan penuh kasih sayang.

Wallahu a’lam

Perkembangan terbaru dapat saya sertakan link-link rujukan bagi kita semua untuk memahami kondisi penetapan Hari Raya Idul Fitri tahun 1432 H ini:

http://arrahmah.com/read/2011/09/01/15025-polemik-1-syawwal-1432-h-jiddan-kompasiana-harus-minta-maaf.html

http://www.republika.co.id/berita/ramadhan/kabar-ramadhan/11/08/30/lqqfgp-nu-hari-ini-1-syawal-yang-puasa-segera-berbuka

http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/08/30/15973/ribuan-warga-nu-jatim-shalat-idul-fitri-hari-selasa-bareng-arab-saudi-muhammadiyah/

http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/08/31/15978/penetapan-1-syawal-indonesia-ditertawakan-negaranegara-islam/

http://jasas.net/vb/showthread.php?t=4742



HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun