Mohon tunggu...
Abdillah Imron Nasution
Abdillah Imron Nasution Mohon Tunggu... Dosen -

Berdomisili dan bekerja di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Stevenson and Giant-Organ

14 September 2015   10:12 Diperbarui: 14 September 2015   11:36 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semalam, Bryan Stevenson melakukan semacam kuliah umum di Oberlin College.  Waktu telah menunjukkan lewat lima menit dari waktu yang penyelenggara janjikan. Pembukaannya sederhana, hanya dibuka dengan menampilkan sebuah pengantar singkat dari seorang mantan pelajar yang pernah mengenyam pendidikan di tempat ini. Kalau dilihat dari penuhnya ruangan ini apalagi bukan hanya diikuti oleh kaum akademisi saja, kalau di negara aku sungguh pembukaannya pasti jadi rebutan banyak orang. Minimal orang-orang dari background partai politiklah.

Siapa Bryan Stevenson? Akupun baru dengar di kelas academic writing kurang lebih 5 jam sebelum acara. Kabarnya, tulisan sang pengacara ini terkait dengan Keadilan, Hukuman Mati, dan Pengampunan begitu menyentuh dan menginspirasi Amerika. Semalam, terbukti, isu-isu terkait itu membuat Finney Chapel bergemuruh, kontradiksi fikiran Stevenson terhadap kemanusiaan, kehidupan, dan perubahan telah membuat orang-orang terkesima. Malah beberapa pendengar tampak menangis. Stevenson sungguh membiuskan.

Tak banyak yang aku mengerti apa yang dia katakan, di samping skor TOEFL yang di bawah rata-rata, perhatian dan keingintahuan aku hanya satu semalam. Organ Raksasa yang terdapat disitu. Organ ini seperti simbol keindahan chapel yang terkadang dialihfungsikan sebagai ruang ceramah umum, pertunjukan, maupun event-event lainnya. Organ ini tampak gagah, dengan setelan kayu  yang berhiaskan pipa perak dalam beberapa ukuran. Katanya, pipa-pipa perak ini tidak boleh tersentuh, kalo itu terjadi, maka timbre organ jadi berubah. Organ ini memang tampak indah. keindahannya itu membiuskan aku. Aku bertanya, apakah organ ini pernah membiuskan orang-orang yang datang di sini?.

Menurut aku, organ raksasa ini adalah sebuah media. Seperti hidup yang kita jalani, seperti dunia yang kita tempati, begitu fikirku. Aku membuat persamaan dengan apa yang Stevenson katakan malam tadi.  Kalau Stevenson mengatakan media perubahan itu bisa jadi apa saja, baik itu datang dari seorang narapidana, di dapat dari orang yang di tuntut hukuman mati, ataupun berasal dari atmosfir kehidupan sekolah. Aku masih bingung, orang di ruang ini bisa mengerti tidak kalau yang dikatakan Stevenson ini perlu syarat.  Bagi aku media yang dikatakan Si-Stevenson ini tetap membutuhkan persyaratan. Ya, seperti organ yang terdiam Indah dalam keindahannya itu, akan membuat perubahan jika itu dimainkan dengan  baik dan benar. Mensyaratkan melodi dan irama yang berkesesuaian. Kalau saja organ yang dikenal telah menghasilkan musikalitas suara yang indah ini dimainkan oleh seseorang yang awam seperti aku camana? Suaranya pasti menakutkan dan mengerikan.

 

Kesamaan lain antara Stevenson dan Organ raksasa itu adalah, selalu ada pilihan untuk hidup dan mati, menurut aku kedua kata ini diidentifikasi sebagai terminologi HARAPAN. Namun, perspektif lain menyatakan hidup dan mati dekat dengan terminologi DINAMIS. Nah, Stevenson yang telah merangsang ratusan orang dengan kondisi yang tak normal menjadi satu harapan  telah lupa menjelaskan kedinamisan harapannya itu. Stevenson mengharapkan JUSTICE SHOULD BE FAIR (keadilan seharusnya adil), DEATH SHOULD BE LIVE (kematian seharusnya hidup), dan KILL A MURDERER SHOULD NOT BE A KILLER (membunuh seorang pembunuh tidak harus menjadi pembunuh), Untuk ukuran negara manapun yang menjadikan hukum (manusia) yang jadi patokan semuanya itu menurut aku belum cukup. Ini yang dilupakan Stevenson dan orang-orang yang datang malam tadi. Perspektif yang berbeda dari kondisi tak umum itu seharusnya secara dinamis bukan seperti yang Stevenson harapkan. Seharusnya mereka yang hidup dalam kerangka kerja hukum manusia ini harus bisa mengatakan, KEADILAN SEHARUSNYA MASUK AKAL, KEMATIAN SEHARUSNYA PENUH PERTIMBANGAN, MEMBUNUH SEORANG PEMBUNUH SEHARUSNYA MENGINGAT KELUARGA SENDIRI (sebelum membunuh) ATAU KELUARGA ORANG YANG MAU DIBUNUH. Pada bagian ini jelas Harapan dan DInamis itu saling berdekatan. Yah seperti kekerabatan antar manusia yang jadi pembunuh dengan manusia yang dibunuh. Dimana manusia yang dibunuh juga sebenarnya punya harapan, keluarga yang dibunuh oleh si pembunuh juga punya harapan. Algojo atau regu tembak yang ‘membunuh’ terhukum juga punya harapan.

Oleh karena itu, seperti organ raksasa yang suaranya spektakuler ini, sangatlah tergantung pada manusianya sebagai subjek media. Siapa subyek yang melihat, Siapa subyek yang mendengar?. Mungkin organ raksasa itu kalau dimainkan oleh Pink Floyd bisa berubah aneh jadi music Slain, atau bisa jadi Gospel Heavy metal kalau dimainkan oleh Axl Rose. Nah, aku dan kaliankan belum tentu sama-sama suka Pink Floyd atau Axl Rose?

Sebagai media unutuk aku, baik Stevenson dan organ raksasa ini menyiratkan sesuatu yang dilupakan sebagai kebutuhan di kehidupan biasa: PENGETAHUAN. Mengapa? Karena, pengetahuan diHARAPKAN dapat lebih memahami nilai-nilai orang secara DINAMIS berperan, bekerja, dan belajar secara bertanggung jawab. Sehingga akan didapatkan pengetahuan untuk mendidik dan mempromosikan keberlanjutan secara efektif di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun