Sebenarnya, apa sih itu mental health?
Mental health atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan kesehatan mental, mengacu pada kognitif, perilaku, dan kesehatan emosional. Ini semua menyangkut tentang bagaimana seseorang berpikir, merasa, dan berperilaku.
Setiap orang mempunyai kesehatan mental yang berbeda-beda.
Perbedaan kondisi mental seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang sedang ia alami atau yang pernah ia alami. Mungkin orang lain mempunyai masa lalu tentang keluarganya yang bermasalah, lingkungan dia tumbuh adalah lingkungan yang "toxic", atau malah dia mempunyai pengalaman yang terus menerus menyenangkan, sehingga tidak terbiasa dengan lingkungan ia berada sekarang yang "toxic".
Well, mental health merupakan masalah yang serius. Akan tetapi, mental health bukan suatu alat yang bisa digunakan sebagai pembenaran kesalahan kita.
Sosialisasi tentang mental health
Sebagai seseorang yang termasuk generasi Z, saya mengikuti perkembangan teknologi dengan mudah. Konten-konten yang disuguhkan setiap aplikasi pun berbeda-beda jenisnya.Â
Namun, akhir-akhir ini saya sering menemukan konten yang sama yaitu tentang mental health. Banyak sekali akun-akun yang memiliki jumlah pengikut yang banyak membicarakan tentang hal ini. Kebanyakan dari mereka bertujuan untuk mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya mental health.Â
Namun, apa yang terjadi bila followers mereka salah tangkap mengenai hal tersebut?
Kesalahan persepsi mengenai mental health
Banyak warganet yang memposting foto dengan caption mental illness atau dengan tagar #mentalillness #brokenhome dan lain-lain. Padahal jika ditinjau lebih jauh, mereka tidak mengalami hal tersebut dan terkesan melebih-lebihkan hal yang sedang dialaminya.Â
Contohnya saja ada anak-anak yang sedang main game dan disuruh orang tuanya membeli barang di warung lalu anak tersebut membuat status media sosial WhatsApp dengan caption "lagi asik-asik ngegame malah diganggu #brokenhome".Â
Ada juga yang memfoto tugas sekolahnya lalu ditulisi caption, "merusak mental health". Hal ini membuat geram banyak pihak karena terlalu menyepelekan frasa mental illness dan membuat persepsi masyarakat menjadi menyepelekan frasa tersebut.
Self-love pun begitu, banyak orang yang menjadikan self-love sebagai tameng untuk bertindak semena-mena kepada orang lain. Contohnya ketika orang tua sedang bekerja di rumah dan membutuhkan bantuan, anaknya malah main sampai tak tau waktu dengan dalih self-love.
Saya rasa, hal tersebut kurang bijak jika dilakukan. Mengingat banyak orang di luar sana yang benar-benar mengalami sakit mental karena beberapa hal yang sedang mereka alami. Mereka yang benar-benar mengalami sakit mental malah cenderung diam dan mengobati lukanya sendiri sampai sembuh. Mereka tidak ke psikiater atau psikolog karena takut dilabeli oleh masyarakat sekitar sebagai orang gila.
Pola asuh anak yang salah mengakibatkan kesalahan-kesalahan lainnya yang dilakukan anak
Perkembangan teknologi yang semakin pesat, pola asuh orang tua dalam mendidik anak, serta berbagai konten yang tidak ada filternya membuat anak-anak dengan mudah memikirkan dan melakukan hal yang sebenarnya tidak boleh dilakukan.Â
Banyak anak yang berbicara sesukanya di media sosial tanpa memperhatikan efek yang ditimbulkan akibat dari perbuatannya tersebut. Hal ini tidak sepenuhnya salah si anak karena orang tua juga berperan penting dalam mendidik anak dan melakukan pengawasan terhadap kelakuan si anak. Namun sayangnya, banyak orang tua yang sibuk dengan urusan pekerjaannya sehingga mereka tidak sempat mendidik anak dengan baik.
Banyak anak yang sudah diberi kebebasan untuk memiliki dan menggunakan perangkat elektronik terutama smartphone. Para orang tua melakukan ini karena mereka tidak mau ribet mengurusi anaknya yang terus menerus bergerak aktif (menangis, lari-larian, berteriak-teriak, merengek-rengek meminta sesuatu, dll). Namun, hal ini saya rasa kurang baik apabila dilakukan pada anak di bawah umur. Karena mereka belum terlalu paham mengenai baik-buruk suatu tindakan yang mereka lakukan di dalam smartphone.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tidak menormalisasikan frasa mental illness, atau apapun itu tentang kesehatan mental pada hal-hal yang sebenarnya sepele. Akan tetapi, tulisan ini tidak bermaksud mengecilkan hal apa yang sedang kamu alami saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H