Bahagia, kamu dimana? Kamu yang selalu dicari banyak orang. Dapatkah kamu sedikit menunjukkan diri, mendekatlah walau sebentar, cobalah bercemkerama denganku. Ada yang perlu aku tanyakan.Â
Halo Bahagia, Mengapa kamu begitu penting? Jikalau suatu saat kamu menghilang, dimana seharusnya aku mencarimu?
Oh iya, Aku mencarimu karena aku ingin menjadikanmu sebagai hadiah untuk semua orang yang penting buatku. Akhir-akhir ini banyak yang begitu marah, kecewa, bingung, dan bersedih. Aku tak tahu kenapa. Pikirku mereka baru saja kehilanganmu. Jika aku menemukanmu, Aku bahkan tak berniat mendapatkanmu untuk diriku sendiri. Mereka sepertinya lebih layak untuk mendapatkanmu walaupun Aku tidak paham sebenarnya apa makna diri kamu.
Aku hanya sering mendengar kata orang, "aku hanya ingin bahagia" "aku ingin lihat dia bahagia", seperti itu. Sudah jelas kan kenapa aku membutuhkanmu. Mungkin saja jika aku melihat mereka bahagia aku pun ikut bahagia juga, jadi aku bisa memilikimu kemudian.
Memilikimu adalah suatu hal yang sangat berharga. Pantas saja banyak orang yang melakukan berbagai cara untuk mendapatkanmu. Kamu tak sadar kalau banyak pertumpahan darah terjadi  demi "bahagia" walau hanya sesaat. Berbagai macam benda dan jasa diyakini dapat mendatangkanmu. Benarkah itu? Pantas saja banyak orang yang berusaha memilikinya.
Sekarang aku mau utarakan sesuatu. Akhir-akhir ini aku sedikit kehilangan minat melakukan sesuatu yang aku sukai. Mungkin aku terlalu mengurung diriku dalam kamar. Aku dahulu sangat bahagia, ceria, dan berusaha membantu siapapun. Aku mulai berpikir bahwa usahaku hanya sia-sia karena aku hanya mementingkan diri sendiri. Kenapa? Aku hanya memikirkan bagaimana aku bahagia. Bahagiaku sangat buruk. Bagaimana tidak, aku hanya butuh pengakuan dari orang lain untuk buatku bahagia. Egois bukan? usahaku gagal.
Selama ini aku bersikeras untuk menjadi bukan diriku sendiri. Kamu tahu, aku dulu kesepian. Jika aku menjadi orang lain mungkin saja aku akan bahagia. Berusaha menjadi orang yang menyenangkan, itu populer bukan? Itu terjadi, Â ya akhirnya aku bahagia. Karena aku ingin keberadaanku diakui oleh orang lain. Kau tahu, tapi itu tak bertahan lama. Aku capek. Aku melakukan itu berdasarkan penilaian orang lain, bukan dari lubuk hati yang dalam.
Aku terlalu sering mengintervensi masalah orang lain, aku sering mengganggap kebahagiaan orang lain juga menjadi tanggung jawabku. Aneh kan, saat menulis ini aku sangat kecewa dengan diriku, kenapa aku menjadi begitu sangat peduli padahal mungkin itu bukan menjadi tanggung jawabku.
Aku tak bahagia, pikirku karena jelas aku tak memilikimu. Aku selalu memberikanmu kepada orang lain. Jikalau kamu kembali lagi, itu tak akan bertahan lama. Karena tujuanku adalah memberikan kebahagiaan kepada orang lain, Aneh ya.
Jadi, sekarang aku mulai berpikir bahwa aku harus bahagia dengan melakukan apa yang menjadi tugas kehidupanku dan bukan mengintervensi tugas kehidupan orang lain. Tugas itu, menjadi tanggung jawab masing-masing individu bukan? Jadi tak salah jika aku menjadi diri sendiri.
Diri yang senang dengan melakukan "pengisolasian diri" karena pekerjaanku tidak banyak menuntut untuk dilakukan dengan melibatkan banyak orang. Padahal dulu aku sering terganggu, aku banyak mengabaikan kepentingan diriku sendiri dengan mengintervensi urusan orang lain demi disebut "peduli". Â Aku mulai berhenti mengurusi apa yang bukan menjadi bagianku karena setiap kali aku mencoba masuk, aku benar-benar akan menjadi egois walau pada akhirnya aku memutuskan untuk terlihat seperti individualis.
Pembagian tugas ini terlihat kompleks untuk diterapkan, rumit. Tapi setidaknya aku sudah memulai untuk bisa mendapatkan kebahagian itu dengan menjalani apa yang menjadi tugasku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H