Kita tentu pernah mendengar istilah buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Beberapa orang mengartikan bahwa sifat/tabiat sampai pekerjaan seorang anak tak akan berbeda jauh dari orang tuannya. Contoh umumnya seperti ayah/ibunya adalah dokter, anaknya juga pasti akan menjadi seorang dokter. Penjelasannya seperti ini, seorang anak yang berasal dari keluarga yang orang tuanya adalah dokter kemungkinan besarnya dia akan mengikuti mereka.Â
Menurut saya, seorang anak akan mengagumi pekerjaan orang tuanya dan berusaha mengikuti mereka, apalagi jika orangtuanya mendorongnya untuk mengikuti jejak mereka. Keluarga adalah hal yang paling dekat bagi seorang anak, jadi keluarga dapat mempengaruhi daya pikir seorang anak, terutama yang berkaitan dengan cita-cita.
Kenyataannya, walaupun kita adalah "hasil copy an beberapa sifat dan karakter dari ayah dan ibu kita", cita-cita seorang anak bisa saja berbeda dari apa yang orang tuanya harapkan seperti harapan sebuah pohon yang menghasilkan buah agar buahnya tidak berada jauh dari pohonnya.Â
Satu hal yang patut di yakini "tidak ada individu yang sama". Lingkungan dimana seorang anak itu berada selain keluarganya, misalnya lingkungan disekitar tempat tinggalnya, sekolah, dan lainnya dapat mempengaruhi pemikiran dan passion seorang anak.Â
Nah, yang menjadi permasalahannya adalah kenapa banyak orang yang terlalu sibuk memikirkan/mengurusi/mempermasalahkan pekerjaan atau karakter seorang anak yang menurut mereka berbeda jauh dari kedua orang tuannya? Hal ini yang sering saya alami sebagai anak dari seorang ustaz.
Mereka beranggapan, setiap anak dari seorang ustaz akan sama hebatnya dengan ayahnya karena ayahnya pastinya mengajari mereka di rumah. Memang betul, pendidikan agama untuk anak-anak dan keluarganya bagi seorang ustaz menjadi hal wajib untuk dilakukan.Â
Jujur, ayah saya sejak kecil menanamkan nilai islam dalam diri saya, setelah lulus dari SD walaupun saya tidak masuk dalam pesantren, saya tetap memutuskan masuk dalam sekolah islami "madrasah"yaitu Madrasah Tsanawiyah (tingkat SMP) dan lanjut tingkat Madrasah Aliyah (tingkat SMA). Menurut beliau pendidikan agama islam untuk anak-anaknya sangat penting untuk bekal mereka kedepan karena pendidikan dari beliau saja tidak cukup untuk itu.
Selama saya menjalani kewajiban saya di kedua sekolah tersebut, saya beberapa kali mendapat tugas saat bulan Ramadan untuk membawakan ceramah "Kultum" dibeberapa mesjid, istilahnya "safari Ramadan". "Dia kan anak ustaz" adalah kalimat yang saya masih ingat sampai sekarang yang menyebabkan saya menjadi dikenal dan ditunjuk sebagai salah satu peserta.Â
Walaupun ini bukan pertama kali saya akan tampil di depan umum, ini menjadi tugas yang cukup penting karena saya akan berdiri di depan para jamaah yang siap mendengar ilmu agama dari seorang bocah yang masih minim ilmu. Saya terpaksa harus banyak membaca, memperkaya diri dengan beberapa ilmu agama agar layak tampil.Â
Apakah pantas hal ini dijadikan kita layak melakukan suatu hal hanya karena latar belakang keluarga kita? Bagaimana dengan orang lain yang berasal dari keluarga biasa namun sebenarnya lebih mampu?
Ok, lupakan dengan masa lalu. Mungkin kalian berpikir saya masih tetap mengikuti ayah saya sebagai seorang ustad dan penceramah bukan? kenyataannya tidak demikian. Setelah lulus dari tingkat Madrasah Aliyah (SMA), saya memutuskan kuliah di salah satu Universitas Negeri dan mengambil jurusan umum, bukan agama. Saya mengambil Biologi.Â