Mohon tunggu...
Abdi Khalik
Abdi Khalik Mohon Tunggu... Auditor - --Pengamat--

Meninggalkan jejak melalui tulisan. Cek tulisan lainnya -Http://artikelbermanfaat100.blogspot.co.id-

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kamu 'Kan Anak Ustaz

22 Mei 2018   05:32 Diperbarui: 22 Mei 2018   07:10 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita tentu pernah mendengar istilah buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Beberapa orang mengartikan bahwa sifat/tabiat sampai pekerjaan seorang anak tak akan berbeda jauh dari orang tuannya. Contoh umumnya seperti ayah/ibunya adalah dokter, anaknya juga pasti akan menjadi seorang dokter. Penjelasannya seperti ini, seorang anak yang berasal dari keluarga yang orang tuanya adalah dokter kemungkinan besarnya dia akan mengikuti mereka. 

Menurut saya, seorang anak akan mengagumi pekerjaan orang tuanya dan berusaha mengikuti mereka, apalagi jika orangtuanya mendorongnya untuk mengikuti jejak mereka. Keluarga adalah hal yang paling dekat bagi seorang anak, jadi keluarga dapat mempengaruhi daya pikir seorang anak, terutama yang berkaitan dengan cita-cita.

Kenyataannya, walaupun kita adalah "hasil copy an beberapa sifat dan karakter dari ayah dan ibu kita", cita-cita seorang anak bisa saja berbeda dari apa yang orang tuanya harapkan seperti harapan sebuah pohon yang menghasilkan buah agar buahnya tidak berada jauh dari pohonnya. 

Satu hal yang patut di yakini "tidak ada individu yang sama". Lingkungan dimana seorang anak itu berada selain keluarganya, misalnya lingkungan disekitar tempat tinggalnya, sekolah, dan lainnya dapat mempengaruhi pemikiran dan passion seorang anak. 

Nah, yang menjadi permasalahannya adalah kenapa banyak orang yang terlalu sibuk memikirkan/mengurusi/mempermasalahkan pekerjaan atau karakter seorang anak yang menurut mereka berbeda jauh dari kedua orang tuannya? Hal ini yang sering saya alami sebagai anak dari seorang ustaz.

Mereka beranggapan, setiap anak dari seorang ustaz akan sama hebatnya dengan ayahnya karena ayahnya pastinya mengajari mereka di rumah. Memang betul, pendidikan agama untuk anak-anak dan keluarganya bagi seorang ustaz menjadi hal wajib untuk dilakukan. 

Jujur, ayah saya sejak kecil menanamkan nilai islam dalam diri saya, setelah lulus dari SD walaupun saya tidak masuk dalam pesantren, saya tetap memutuskan masuk dalam sekolah islami "madrasah"yaitu Madrasah Tsanawiyah (tingkat SMP) dan lanjut tingkat Madrasah Aliyah (tingkat SMA). Menurut beliau pendidikan agama islam untuk anak-anaknya sangat penting untuk bekal mereka kedepan karena pendidikan dari beliau saja tidak cukup untuk itu.

Selama saya menjalani kewajiban saya di kedua sekolah tersebut, saya beberapa kali mendapat tugas saat bulan Ramadan untuk membawakan ceramah "Kultum" dibeberapa mesjid, istilahnya "safari Ramadan". "Dia kan anak ustaz" adalah kalimat yang saya masih ingat sampai sekarang yang menyebabkan saya menjadi dikenal dan ditunjuk sebagai salah satu peserta. 

Walaupun ini bukan pertama kali saya akan tampil di depan umum, ini menjadi tugas yang cukup penting karena saya akan berdiri di depan para jamaah yang siap mendengar ilmu agama dari seorang bocah yang masih minim ilmu. Saya terpaksa harus banyak membaca, memperkaya diri dengan beberapa ilmu agama agar layak tampil. 

Apakah pantas hal ini dijadikan kita layak melakukan suatu hal hanya karena latar belakang keluarga kita? Bagaimana dengan orang lain yang berasal dari keluarga biasa namun sebenarnya lebih mampu?

Ok, lupakan dengan masa lalu. Mungkin kalian berpikir saya masih tetap mengikuti ayah saya sebagai seorang ustad dan penceramah bukan? kenyataannya tidak demikian. Setelah lulus dari tingkat Madrasah Aliyah (SMA), saya memutuskan kuliah di salah satu Universitas Negeri dan mengambil jurusan umum, bukan agama. Saya mengambil Biologi. 

Awalnya ayah saya sedikit kecewa karena latar belakang saya dari sekolah islami dan sayang tidak melanjutkan di jurusan agama. Well, saat tingkat MA (SMA) saya mengambil jurusan IPA, walaupun berciri khas islami juga tetap memberikan berbagai pilihan jurusan termasuk yang saya ambil itu. Passion, lagi-lagi passion. Sebenarnya ayah saya tidak memaksa anaknya untuk mengikuti jejak beliau, beliau tetap yakin jurusan yang saya ambil suatu saat akan bermanfaat untuk manusia khususnya bagi agama. 

Beliau hanya berharap anak-anaknya berada di jalan yang benar dengan sedikit bekal agama dimiliki, urusan kedepan dalam menyebarkan kebaikan adalah tugas kami sebagai seorang muslim. Tugas dalam "berdakwah" tidak hanya kewajiban seorang ustaz, ustaz hanya gelar titipan dari masyarakat untuk membantu mereka dalam urusan agama, dakwah itu tugas semua orang untuk menegakkan agama. Itu adalah poin yang saya yakini sampai sekarang.

Jujur mendengar kalimat "kamu kan anak ustaz" saat ini sungguh menyayat hati. Seolah-olah saya sama hebatnya dengan almarhum ayah saya dalam ilmu agama dan bisa jadi ini menjadi beban berat bagi almarhum sebagai seorang ayah jika banyak orang beranggapan seperti itu. Kesempurnaan tidak dilihat dari latar belakang keluarganya. Siap tidaknya dalam berdakwah, memimpin orang-orang dalam ilmu agama, adalah perkara pribadi dengan Allah. Daripada kita sibuk mengurusi tentang latar belakangnya, sebaiknya kita introspeksi diri masing-masing. Berusaha memperbaiki diri agar lebih baik dan konsisten (istiqamah) serta tetap mau belajar adalah hal-hal penting agar kita layak berdakwah di jalan Allah. Selamat berpuasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun