Saat ini kita hidup dalam dunia yang sedang dikelilingi para penjilat dan pengecut. Kiri kanan ada penjilat. Atas bawah juga ada penjilat. Dimana-mana ada penjilat dan pengecut.
Di negara ini kebanyakan penjilat mulai bermunculan menjelang pesta demokrasi seperti Pilkada atau Pilpres, bahkan dalam skala demokrasi terkecil seperti pemilihan Kades juga pemilihan RT dan RW selalu ada penjilat di situ.
Banyak orang meraih pangkat, jabatan, dan kedudukan bukan karena kemampuan yang sesungguhnya, tapi karena menjilat dan "cari muka"
Penjilat adalah manusia pengecut yang sangat gandrung menipu, dan getol menebar dusta dimana-mana.
Akibatnya semua yang dilakukan diatas perbuatan menjilat selalu menimbulkan kemaslahatan dalam bernegara
Jika seorang penjilat duduk bersama si A, tentu dia akan menceritakan keburukan si B. Begitupun sebaliknya, bahwa si A akan menjadi buruk jika penjilat mulai bergeser duduk dengan si B.
Doktor Wattimena (2018) dalam salah satu artikelnya di www.rumahfilsafat.com  menulis bahwa "manusia penjlat" sejujurnya minim prestasi, namun suka menjilat dan menipu lingkungan sekitarnya, guna mendapatkan kekuasaan di dalam organisasi. Biasanya, orang semacam ini cepat naik jabatan, walaupun tak memiliki pencapaian yang nyata.
Faktanya memang banyak pemimpin yang datang dari politik menjilat. Mereka bertindak tidak adil dan cenderung merugikan orang banyak. Bahkan kebanyakan dari mereka takut terhadap kritik karena kepercayaan diri mereka berada pada titik nadir (noun) atau titik terendah.
Hal terburuk dari pemimpin penjilat adalah haus pujian dan gila hormat. Biasanya dia sulit membedakan bawahan yang benar dengan bawahan munafik yang suka menjilat demi mendapat kedudukan, fasilitas atau kemudahan lainnya.
Tentu dampak dari maraknya pemimpin haus pujian adalah munculnya penjilat-penjilat baru yang keahliannya lebih dari pendahulunya. Inilah ekstafet dalam dunia 'jilat menjilat' yang seakan tak pernah berakhir di Republik ini