Persidangan terhadap Yesus diperkirakan berlangsung pada tanggal 14 Nisan tepat pada hari pertama perayaan Roti Tak Beragi dalam Paskah Yahudi. Saat itu Yesus harus menghadapi dua macam pengadilan dan persidangan sekaligus. Pertama, adalah pengadilan Mahkamah Agama yang di pimpin langsung oleh Imam besar Kayafas. Kedua, adalah pengadilan Negeri yaitu di hadapan Gubernur Pontius Pilatus.
Menurut Busthan Abdy (2017:21-22), dalam setiap pengadilan yang berlangsung, Yesus harus menjalani tiga kali pemeriksaan yang cukup ketat, yaitu sebagai berikut.
Pertama, pemeriksaan berlangsung di Mahkamah Agama. Di situ Yesus di perhadapkan kepada Imam besar Hanas yang pada saat itu berusia 70 tahun, dan pernah menjadi Imam besar selama 20 tahun, serta dia pula yang memiliki andil besar dalam kasus suap yang berupa penjualan dan penukaran Yesus kepada Yudas sang munafik, dengan dana suap sebesar 30 keping perak.
Kedua, pemerikasaan dilanjutkan kepada Yosef Kayafas sang Imam Agung penghuni dan penguasa bait Allah, yang konon katanya di dalam bait Allah itu terdapat 'Sanctuary', yaitu tempat yang sangat suci dan paling di kuduskan oleh agama Yahudi. Kayafas juga adalah menantu Hanas sendiri. Dalam konteks tradisi keras bangsa Yahudi, Kayafas adalah Imam Agung bangsa Yahudi yang pernah mengeluarkan peraturan hukuman mati terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan penghujatan dan perzinahan dengan cara melemparinya dengan batu hingga mati.
Ketiga, dihadapan para Sanhedrin yang juga merupakan sekumpulan para rohaniawan serta pemuka agama yang saat itu bergabung dalam kelembagaan M.A (Mahkamah Agama). Ironisnya, walaupun mereka menyandang pekerjaan sebagai pemuka agama yang sepatutnya di guguh, namun perbuatan mereka ibarat serigala berbulu domba. Dengan manufer liar, mereka pun mengahasut masa yang berjumlah sekitar 10.000 orang saat itu untuk meminta Yesus untuk segera disalibkan, dan sebagai gantinya adalah kebebasan seorang penjahat kelas wahid, yaitu Barabas yang adalah pembunuh, perampok dan pemimpin gerakan bawah tanah yang banyak menumpahkan darah akibat kejahatannya di Yerusalem saat itu.
Berdasarkan ketiga pemeriksaan tersebut, pada Akhirnya semua Imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi merumuskan keputusan untuk membunuh Yesus (Matius 27:1). Sebuah keputusan hukum berskala 'banalitas' dalam bentuk kejahatan terstruktur, dimana terminologinya pernah diperkenalkan oleh Hannah Arendt sebagai sebuah realitas kekejaman. Yang kemudian diadopsi juga oleh rezim totaliter Hitler pada masanya.
Seperti yang pernah juga terjadi dalam sidang persidangan Mayor Jendral Adolf Eichman yang dilakukan di kota Yerusalem atas tuduhannya melakukan pelanggaran kejahatan kemanusiaan. Walaupun hal yang sebenarnya, menurut Eichman, ia tidak melakukannya. Dalam konteks itu, menurut reportasi Arendt---memang Eichman menjalani hukumannya tanpa rasa bersalah mengenai apa yang telah dikerjakannya.
Demikian halnya dengan keputusan sidang Mahkamah Agama yang dilakukan terhadap Yesus. Saat itu Yesus di tuduh melakukan pelanggaran agama karena mengaku sebagai "Anak Allah", sebagaimana Imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi mengganggap bahwa Yesus menyamakan diri-Nya dengan Allah (padahal memang Yesus sendiri Allah). Tetapi hal ini lebih merupakan sebuah penghujatan bagi Mahkamah Agama Yahudi sehingga keputusan berakhir pada hukuman mati terhadap Yesus.
Ya, inilah suatu keputusan sidang yang paling melanggar sistem hukum sepanjang sejarah peradaban dunia. Sebab fakta jelas sekali bahwa di bawah pemerintahan Romawi, pengadilan Yahudi tidak berhak menjatuhkan hukuman mati dalam bentuk apapun juga. Namun mereka kemudian mencari dalil-dalil untuk melimpahkan kasus ini kepada pengadilan Romawi, agar supaya hukuman mati segera dijalankan kepada Yesus.
Demikianlah kronologis pengadilan terhadap Anak Manusia yang berakhir di kayu salib. Dalam semua rangkaian peristiwa penyaliban tersebut,Yesus adalah korban penyelewengan hak 'positivus' seorang warga negara yang seharusnya mendapatkan pengadilan secara baik dan adil, sebagaimana yang pernah dikemukan oleh pakar hukum George Jellinek (1851-1911).