Jadi sebelum manusia sadar akan dirinya sendiri, tanggungjawab terhadap orang lain sudah lebih dulu ada. Levinas menyebut masa ini sebagai masa lalu yang sudah tidak dapat diingat lagi (immemorable past). Hubungan aku dengan orang lain pada titik ini selalu bersifat altruism ekstrem. Aku mengorbankan sesuatu yang aku punya demi hidup orang lain. Maka dalam etika Levinas, bukan hanya tidak terdapat lagi egoisem di situ tetapi kita bahkan "terpenjara" oleh kehadiran orang lain. Saat ada orang lain di hadapan kita, kita sudah dituntut bertanggungjawab kepadanya. Artinya bahwa kenyamanan individualisme kita terusik dan cara kita hidup dan bereksistensi dipertanyakan.Â
Singkatnya Levinas memahami bahwa etika bukan hal yang harus dipersoalkan lebih jauh. Tindakan etis tidak memerlukan niatan sengaja atas dasar berempati tapi mutlak (absolute) sebagai yang tak terhindarkan (aksiomatis). Untuk menjadi manusia yang etis, adalah melayani manusia lain dengan penyerahan diri sepenuhnya. Hal ini mirip seperti penyerahan diri pada Tuhan. Tetapi dalam pandangan ini, yang justru menjadi subyek penyerahan diri adalah manusia lain (Yang lain).
Baca juga: Eksistensialisme ala Emmanuel Levinas
Transendensi
Tentang hal transendensi, Levinas (1991) melihatnya sebagai kebutuhan untuk melarikan diri. Levinas melihat 2 (dua) hal yang terus menjadi perbincangan metafisik dalam sepanjang peradaban manusia, terutama pada abad pertengahan dan pencerahan, yaitu warisan pemikiran dari Immanuel Kant dan fenomenologi Martin Heidegger yang terlebih dahulu menyemangatinya untuk melacak dunia yang nyata dan yang tersembunyi. Dengan kata lain, bahwa yang riil dan "tak berhingga". Inilah yang juga pernah ditegaskan kembali oleh Nindra Poller (1996) bahwa ketika manusia melacak yang tersembunyi dan tak berhingga itu, maka dia memasuki ranah "transendensi".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H