Wajah manusia merujuk ke unsur "Yang lain" dengan huruf-huruf besar. Kalau saya melihat sesama manusia, saya pun diadili dari atas. Hubungan antara manusia dan sesama menjadi tidak simetris.
Untuk sesama manusia, saya harus membuat lebih banyak daripada yang boleh saya minta dari dia. Terutama wajah manusia yang miskin, kecil, dan lemah 'mengadili' saya. Wajah manusia lain mewajibkan saya ke kebaikan dan keadilan. Kebaikan dan keadilan akan berlaku sebagai perintah dari 'atas':
Allah berlaku sebagai perintah dari 'atas'; Allah itu Yang Tak Terkatakan; tapi dalam tuntutan-tuntutan etis, saya mengalami kehadiran-Nya. Wajah pada titik ini adalah wilayah relasi etika yang bukanlah wajah manusia secara fisik melainkan keseluruhan dari cara orang lain (the Other) memperlihatkan dirinya ke hadapan Saya/Aku (ego). Maka relasi etis adalah apa yang terjadi antara Aku dan Yang-Lain dalam sebuah pertemuan yang konkret.
Manusia cenderung menyerap segala hal di luar dirinya untuk menjadi bagian dari dirinya. Inilah yang dikatakana Levinas sebagai "totalitas". Manusia tidak nyaman dengan sesuatu yang tidak ia kenal, maka ia akan memberi hal yang asing itu dengan sebuah nama, serta mencari-cari dalam ingatannya hal yang serupa dengan hal yang asing itu, lalu menyerap hal asing itu ke dalam dirinya; menuju sebuah totalitas (totality).
Baca juga: ODGJ dan Filsafat Wajah Emmanuel Levinas
Totalitas ini sebuah sikap yang bukan etis, karena bergerak menuju diri sendiri (egosentris) dan selalu ingin menguasai pihak yang lain. Untuk mencegah terjadinya totalitas, Levinas menyebut bahwa pihak yang lain (the Other) sebagai manusia yang memiliki "wajah", dan wajah ini merupakan jejak dari Yang Tak Terbatas (the Infinite).
Pemikiran Levinas mengenai etika memang sangat metafisik (abstrak). Tapi pemikiran ini bisa kita pahami secara sederhana, bahwa sebagai sesama manusia, kita tidak bisa memahami orang lain hanya dengan semua konsep dan gagasan yang sudah kita miliki sebelumnya tentang dia. Kita harus bertemu secara langsung dengannya, dan membiarkan 'dia' dengan seluruh niatan yang dia sendiri miliki untuk memperlihatkan keseluruhan dirinya kepada kita (saya).Â
Maka dengan sendirinya hadir relasi etis ketika kita melepaskan asumsi dan gagasan kita tentang orang dihadapan kita dan membiarkan dirinya memperlihatkan sendiri apa yang dia ingin diperlihatkan kepada kita (saya).
Dari ego (Aku) Menuju the Other (Yang lain)
Khusus tentang tanggungjawab, maka hubungan antara dua orang (aku dan yang-lain) tidaklah setara atau sama-rata (seperti yang mungkin dianggap banyak orang). Relasi antara dua manusia selalu submissif dari aku (ego) menuju yang-lain (the Other). Aku harus bertanggungjawab atas hidup orang lain di hadapanku. Tapi aku tidak cuma bertanggungjawab atas hidup satu orang, karena orang di hadapanku merupakan jejak dari Yang Tak Terbatas (the Infinite) maka aku bertanggungjawab pula pada hidup semua orang lain di belakangnya, yang sudah tercakup di dalam orang tersebut.
Tanggungjawab aku kepada orang lain ini, menurut Levinas, bukanlah keinginan menolong yang muncul dari perasaan bersimpati atau empati. Melainkan sebuah tanggungjawab yang sudah tertanam jauh di dalam  diri manusia sebelum manusia memiliki kesadaran (consciousness).Â