Â
Ada pertanyaan sederhana, apakah keyakinan kita terhadap sesuatu bisa menjawab segala hal yg tidak kita ketahui terlebih dahulu?
Pengetahuan kita akan sesuatu dimulai dengan keyakinan kita terhadap sesuatu itu sendiri. Jika kita tidak meyakini sesuatu, maka kita tdk mungkin mengetahui sesuatu.
Semua penelitian dan pengajuan ilmiah dalam bentuk apapun, akan selalu didasarkan pada "keyakinan". Sebelum ilmuwan menyelediki ilmu apapun yang ada di alam ini, maka ia akan memiliki satu set praanggapan yang didasarkan pada keyakinan terdalam.Â
Ketika seseorang menyelidiki suatu hal, maka terlebih dahulu ia yakin dan memiliki kepercayaan bahwa nantinya ia pun dapat mengetahui. Sehingga dengan dorongan itu, maka ia mulai menyelediki sesuatu. Pada titik ini, maka keyakinan mendahului pengetahuan.
Setiap siapa saja yang melakukan studi dan kajian ilmu (baik itu para ilmuwan, peneliti, filsuf, dan kaum terpelajar, tanpa terkecuali), entah ia menggunakan metode ilmiah apa saja, seperti metode induksi maupun deduksi, maka tanpa ia sadari, ia pun akan masuk pada hakikat dasar (yang terdalam) yaitu "keyakinan-nya" terhadap sesuatu. Artinya bahwa di dalam melakukan penyelidikan, seseorang pasti akan menginginkan bukti. Tetapi ingat bahwa sebelum bukti itu muncul, orang tersebut telah memulainya dengan suatu praanggapan yaitu keyakinan (meyakini).
Misalnya metode deduksi dan silogisme dari filsuf Aristoteles yang menggunakan 3 (tiga) tahap silogisme dalam hal menemukan kebenaran dengan rasio: yang pertama, disebutkan sebagai "premis mayor", kedua "premis minor" dan ketiga adalah "kesimpulan".
Sebagai contohnya:Â
Semua manusia bisa mati (premis mayor)Â
Budi adalah manusia (premis minor)Â
Maka Budi bisa mati (kesimpulan)
Premis minor dalam silogisme seperti kalimat di atas, sebenarnya telah dimulai dengan suatu keyakinan. Kalimat yang menyatakan "semua manusia bisa mati", adalah keyakinan yang belum pernah dibuktikan.
Ketika seseorang mengatakan bahwa, "Saya melihat memang semua manusia akhirnya mati", maka kalimat ini bukanlah suatu kebenaran, karena yang melihat sendiri belum mati. Berarti, belum "semua" manusia mati. Jika diri yang melihat sudah mati, maka sebenarnya ia sendiri tidak akan dapat membuktikan apa-apa, sebab ia sudah mati. Jadi, jika seseorang melihat semua orang yang sudah mati, tetapi ia belum pernah melihat kematian orang yang sesudah ia mati, maka teori ini belum dapat terbukti dengan benar!
Maka dalam hal ini premis mayor (semua manusia bisa mati) yang dijadikan dasar untuk rasio berpijak untuk dapat mencari suatu pembenaran, belum dapat dibuktikan sama sekali, maka hal ini bukan bukti, tetapi sebuah "keyakinan". Maka dapatlah dipahami bahwa apapun bentuk ilmu pengetahuan dan rasio, maka ia tidak akan bisa terlepas dari "keyakinan".Â