Beberapa hari ini sedang viral persoalan 'tempat air kencing" yang dijual seharga 80 juta. Desas-desus pun mulai berhembus kencang. Ada yang mendesas, ada pula yang mendesus. Akhirnya berujung pada panel diskusi dalam prolog perdebatan.Â
Lalu, apa sebenarnya substansi persoalannya? Jika kita mencoba menjawab pertanyaan ini dengan jujur, tentu jawabannya adalah desas-desus "Harga kemaluan". Kalo dalam bahasa yang sederhana, bisa saya sebutkan: "harga tempat air kencing" seorang perempuan. Artinya, ada seorang perempuan (VA) yang tempat air kencingnya dihargai dengan sangat fantastis, yakni 80 juta rupiah! Sehingga kejadian ini bisa dimasukkan dalam pelanggaran "prostitusi", yaitu sebuah kegiatan ilegal yang bersifat melawan hukum. Dan dalam ratifikasi perundang-undangan RI Nmr 7 Thn 1984, perdagangan perempuan dan prostitusi ini dimasukan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Ironis memang! So, 80 juta mungkin ibarat tempat air kencing yang dilapisi emas dan berlian, dan inilah yang berhasil di bekuk oleh pihak keamanan. Sementara yang  kelas 50 ribuan hingga kelas ratusan, tidak perlu dibekuk, karena mungkin tidak menarik.
Hal lainya, bahwa yang terjadi persoalan ini justru memperkuat pandangan misoginis pada khalayak umum terhadap kaum perempuan, yang kemudian menjust kaum hawa sebagai objek telaahnya. Karna mengalami ketidakadilan akibat relasi kekuasaan yang tidak setara. Sehingga perempuanlah yang harus disalahkan! Maka akhirnya, orang pun mulai beranggapan bahwa perempuan yang dihargai 80 juta masih lebih terhormat, ketimbang perempuan yang dihargai dengan 50 ribu rupiah, bahkan lebih jauh terhormat lagi dari perempuan yang memberikan tempat air kencingnya dengan gratis, alias tanpa dibayar sama sekali. Begitupun anggapan sebaliknya!
Saya pikir anggapan-anggapan di atas keliru! Anggapan seperti begitu, sebenarnya menihilkan harga diri seorang perempuan. Artinya, tubuh wanita itu tidak bisa ternilai harganya. Jika ia harus dirupiahkan, maka ia adalah satuan rupiah yang tak mungkin bisa terupiahkan oleh nilai rupiah apapun. Lantas, bagaimana jika ia digratiskan? Tubuh wanita juga tidak untuk digratiskan!Â
Itulah sebabnya, marilah kita dengan bijak melihat persoalan ini sebagai persoalan moral yang sifatnya individualistis. Dan untuk urusan moral, maka sudah saatnyalah kita kembalikan kepada pribadi kita masing-masing.
Menurut hemat saya, kesadaran seseorang jika mau "tempat air kencing", Â ya sebaiknya dia bisa beli melalui mas kawin dan miliki sendiri. Dari pada harus rental terus. Sekarang tergantung siapa yang mau kencing saja? Apakah di WC sendiri atau WC umum? WC umum sekalipun di hotel skala internasional, tetap saja ia adalah WC yang umum. Artinya 'banyak orang' yang buang air di sana. Sementara WC sendiri, tentu kita sendiri yang membersihkan dan menggunakannya kapan pun kita mau!
Salam..wassalam... Hormat di bri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H