Ya, ternyata korupsi benar-benar tidak mengenal aliran keagamaan dan iman apapun. Kapanpun, siapapun, dan di mana saja, hantu korupsi selalu siap mengerogoti martabat orang-orang yang konon disebut beriman. Di dunia politik apalagi. Ada tendensi, korupsi sudah menjadi ‘program utama’ partai, maupun pelaku politik. Praktek korupsi juga sudah menjadi semacam pekerjaan pokok para pejabat mulai dari pusat sampai desa-desa diseluruh wilayah negeri ini.Â
Fenomena penyimpangan masif birokrasi dari Kementerian Agama (Kemenag) seperti kasus-kasus di atas, sesungguhnya memberi sinyal yang sangat akurat bahwa peranan Kementerian Agama telah melenyapkan eksistensi agama, seperti pendekatan Weber yang sudah dijelaskan sebelumnya. Ya, kasus seperti ini memberikan sinyalemen bahwa lembaga agama di republik tercinta ini memang sudah tidak dapat lagi dipercaya sebagai agen pembawa dakwah dan muara serta mata air kesejukan bagi umat. Harus dipahami, bahwa mafia birokrasi berlebel Kementerian Agama, adalah merupakan masalah krusil, sebab mengingat peran Kementerian Agama sendiri adalah bagian dari penyelenggaraan Perlindungan hak asasi manusia yang pengamalannya melalui negara, dan yang dibatasi pula oleh Konstitusi dengan perundang-undangan, demi untuk tercapainya tujuan negara.
Di Indonesia misalnya, lahirnya UU No. 1/PnPs/1965 dimaksudkan mengatur untuk pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama jo. UU No. 5 Tahun 1969 yang mengatur segala bentuk pernyataan berbagai penetapan dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang, yang lebih banyaknya dimaksudkan melindungi segala penodaan dan penyimpangan terhadap pokok-pokok ajaran suatu agama.
Berbagai perilaku korup mafia birokrasi Kementerian Agama tentu saja akan berbeda dampaknya dibandingkan birokrasi lain, karena institusi ini bersinggungan langsung dengan teritori yang sangat sensitif. Korupsi Kemenag juga berimplikasi pada pelanggaran HAM, yang secara sengaja dan terbuka menyatakan penodaan dan penistaan ajaran agama. Alhasil, mafia birokrasi di Kementerian Agama tidak hanya menempatkan umat beragama sebagai korbannya, tetapi juga telah menyandera Pancasila dan Konstitusi sebagai rujukan Kemenag untuk mengintervensi teritorial Agama. Kementerian Agama bersifat khusus karena teritorial agama mengatur ritual dalam beribadah (Syariat) semua umat agama.
Di era otonomi saat ini,korupsi memang telah berpindah situs, dari Jakarta ke daerah-daerah, walaupun, Jakarta masih menjadi top scorer terbesar di negeri ini. Pertanyaan yang menggelitik untuk dicermati adalah, mengapa korupsi tidak bisa lenyap, bahkan semakin menggila? Mengapa Persepsi Indeks Korupsi Indonesia belum memperlihatkan perkembangan yang signifikan?Â
Sebagai bahan refleksi menghadapi beragam tirani kekuasaan, mafia birokrasi, korupsi, dll, yang getol menggandeng lembaga keagamaan, maka pemerintah harus konsisten dan tegas kepada siapa saja yang mau merusak moralitas negara dan agama. Sehingga tirani-tirani ngaur ngidul tidak lagi menjamur dalam wilayah religius. Sebab jika tidak, niscaya agama akan berganti nama menjadi "tirani". Ya, tirani itu bernama lembaga agama!
Referensi Buku
- Busthan Abdy. (2017). Negara bukan Agama! Agama bukan Negara. Kupang: Desna Life Ministry
- Hogwood, Brian W. & B. Guy Peters. (1985). The Pathology of Public Policy. Oxford University Press.
- Weber Max. (2012). Sosiologi Agama. Terjemahan: Santoso Yudi. Jogjakarta: Penerbit IRCiSoD
- Yewangoe. A. A. (2011). Agama dan Kerukunan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H